Rene
Descartes
“Cogito Ergo Sum”
“Aku berfikir, maka aku ada”
Kalimat yang dikemukakan oleh
Descartes itu selalu dimuat dalam buku pengantar filsafat khususnya yang
membahas mazhab rasinalisme dan senantiasa nyaris tanpa ada koreksi benar
salahnya sama sekali, dan kemudian menjadi semacam “mantra sakti” yang membius
banyak orang sehingga selalu takjub tanpa bisa bersikap kritis kepada apa yang
datang dari dunia filsafat.
Sebagian orang menganggap prinsip
Descartes “aku berfir maka aku ada” itu sebagai semacam pijakan atau parameter
untuk memahami konsep rasionalisme serta pengertian “rasionalitas” yang
berbahaya kemudian adalah bila orang mengaitkan sesuatu harus masuk akal (yang
rasional) dengan kekuatan kesadaran manusia sehingga yang diluar kekuatan kesadaran
manusia menangkap (dan memikirkannya) akan dianggap “tidak masuk akal”,
masalahnya kemudian adalah kekuatan kesadaran berfikir manusia itu (tanpa
bimbingan agama) seringkali menjadi sangat bergantung pada pengalaman dunia
inderawinya sehingga yang tidak masuk pengalaman dunia inderawinya seringkali
tidak masuk dalam kesadaran berfikirnya sehingga ujungnya lahir prinsip “yang
masuk akal adalah yang dunia indera bisa menangkapnya”.
Contoh analogi dari pernyataan
tersebut: dimasa silam sebelum manusia menemukan teropong yang bisa meneropong
alam semesta saat itu manusia belum mengetahui bahwa ada banyak planet yang
berada diseputar planet bumi yang juga mengelilingi matahari, artinya
keberadaan planet-planet saat itu belum masuk kedalam kesadaran berfikir
manusia, dan telah diketahui ada keberadaannya setelah difikirkan dan menyadari
keberadaannya.
Itulah sebabnya dalam melihat
problem “realitas” manusia harus belajar melihat dari kacamata sudut pandang
atau dari dimensi lain jangan melihatnya hanya dari kacamata sudut pandang
kesadaran manusia sebab manusia bukan pencipta realitas tapi penangkap sebagian
realitas (itupun sangat terbatas) artinya kita harus belajar melihat realitas
dari sudut pandang penciptaannya, Tuhan yang menciptakan realitas, dan kemudian
belajar menyadari dan menempatkan diri sebagai penangkap sebagian kecil
realitas dengan cara demikian manusia tidak mudah memvonis apapun yang datang
dari agama sebagai “hanya dogma” tanpa mengaitkannya dengan ilmu tentang
realitas itu.[1]
Disamping itu kalimat ini
membuktikan bahwa satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan
seseorang sendiri, keberadaan ini bisa dibuktikan dengan fakta bahwa ia bisa
berfikir sendiri.
Jika dijelaskan kalimat “cogito ergo
sum” berarti sebagai berikut Descartes ingin mencari kebenaran, dengan
pertama-tama meragukan semua hal ia meragukan keberadaan benda-benda di
sekilingnya ia bahkan meragukan keberadaan dirinya sendiri.
Descartes berpikir bahwa dengan cara
meragukan semua hal termasuk dirinya sendiri tersebut, dia telah membersihkan
dirinya dari segala prasangka yang mungkin menuntunnya ke jalan yang salah, ia
takut bahwa mungkin saja berfikir sebenarnya tidak membawanya menuju kebenaran.
Mungkin saja bahwa pikiran manusia pada hakikatnya tidak membawa manusia kepada
kebenaran, namun sebaliknya memebawanya kepada kesalahan. Artinya ada semacam
kekuatan tertentu yang lebih besar dari dirinya yang mengontrol pikirannya dan
selalu mengarahkan pikirannya ke jalan yang salah.
Sampai disini Descartes tiba-tiba
sadar bahwa bagaimanapun pikiran mengarahkan dirinya kepada kesalahan, namun ia tetaplah berfikir. Inilah
satu-satunya yang tidak mungkin salah, maksudnya, tak mungkin kekuatan tadi
membuat kalimat “ketika berfikir, sayalah yang berfikir” salah. Dengan demikian
Descartes sampai pada kesimpulan bahwa ketika ia berfikir maka ia ada.[2]
Rene Descartes percaya bahwa alam
semesta adalah suatu struktur matematika. Dengan alasan bahwa jika itu adalah
benar maka struktur alam semesta dapat dipahami oleh studi matematika. Dengan
mengikuti ke Descartes bahwa jika ia bisa kesampingkan keraguan apapun
dipikirannya, maka itu harus benar. Dari dasar pemikiran ini muncul
pernyataannya yang paling terkenal: “cogito ergo sum/aku berfikir oleh aku
ada”.
Descartes mengatakan bahwa postulat
“Aku berfikir maka aku ada” adalah sedemikian kukuh dan niscaya sehingga kaum
Skeptis tidak lagi dapat menggoyahkan. Postulat “Aku berfikir (cogito) atau Aku
ragu (dubito) yakni apabila seseorang meragukan segala sesuatu ia tetap tidak akan
pernah meragukan keberadaan dirinya sendiri.
Mengingat keraguan tidak bermakna
tanpa peragu, maka keberadaan manusia peragu dan pemikir adalah sesuatu yang
tidak bisa diragukan. Kebenaran tentang aku yang merugikan ini bagi Descartes
merupakan kepastian.[3]
Metode
Kesangsian dan “Cogito ergo Sum”
Descartes dipandang sebagai Bapak
filsafat Modern. Julukan ini tidak berlebihan sebab sejak Descartes kesadaran
betul-betul digumuli dalam filsafat.Disamping itu, Descartes juga berusaha
memberi pendasaran metodis dalam filsafat. Dengan metode, Descartes memahaminya
sebagai aturan-aturan yang dipakai untuk menemukan fundamentum certum et inconcussum veritatis (kepastian dasariah dan
kebenaran yang kokoh). Metode itu disebutnya “le doute methodique” (metode kesangsian). Jadi berfilsafat bagi
Descartes berarti melontarkan persoalan metafisis untuk menemukan fundamen yang
pasti, yaitu suatu titik yang tidak bisa goyah seperti aksioma matematika.
Untuk menemukan titik kepastian itu
Descartes mulai dengan sebuah kesangsian atas segala sesuatu. Umpamanya dia
mulai dengan menyangsikan apakah asas-asas matematika dan pandangan-pandangan
metafisis yang berlaku tentang dunia material dan dunia rohani itu bukan tipuan
belaka dari semacam iblis yang sangat cerdik. Misalkan saja, kita benar-benar
tertipuhabis-habisan sehingga kita betul-betul dipermainkan oleh
khayalan-khayalan, lalu apakah yang bisa kita jadikan pegangan? Menurut
Descartes sekurang-kurangnya “aku yang menyangsikan” bukanlah hasil tipuan.
Semakin kita dapat menyangsikan segala sesuatu, entah kita sungguh ditipu atau
ternyata tidak, termasuk menyangsikan bahwa kita tak dapat menyangsikan, kita
semakin mengada (exist). Justru kesangsianlah yang membuktikan kepada diri kita
bahwa kita ini nyata. Selama kita sangsi, kita akan merasa makin pasti bahwa
kita nyata-nyata ada. Jadi meskipun dalam tipuan yang lihai, kepastian bahwa
“aku yang menyangsikan” itu tidak bisa dibantah, juga seandainya Allah itu
seorang penipu sekalipun. Menyangsikan adalah berfikir, maka kesangsian akan
eksistensiku dicapai dengan berfikir. Descartes kemudian mengatakan Je pense donc je suis atau cogito ergo sum (aku berfikir, maka aku
ada).
Yang ditemukan dengan metode
kesangsian adalah kebenaran dan kepastian yang kokoh, yaitu “cogito” atau kesadaran-diri.
Cogito itu kebenaran dan kepastian yang tak tergoyahkan karena dimengerti
secara jelas dan terpilah-pilah (claire et distincte).
Cogito
ini tidak ditemukan dengan dedukasi dari prinsip-prinsip umum atau dengan
intuisi. Kedua metode tradisional ini bisa dipakai untuk membenarkan wahyu,
padahal yang disebut wahyu itu bisa disangsikan dan filsafat tidak mengizinkan
ketidakpastian. Cogito ditemukan lewat pikiran, sesuatu yang dikenalii lewat
dirinya sendiri, tidak melalui Kitab Suci, Dongeng, pendapat orang, prasangka,
dan seterusnya. Kesangsian Descartes ini sedemikian radikal, tetapi kesangsian
ini hanya sebuah metode untuk menemukan dasar yang kokoh untuk kenyataan.
Disini, kendatipun metode yang ditemukan baru, dia sebetulnyya tetap memiliki minat
metafisika. Kesangsiannya bersifat metodis, maka bukanlah sebuah skeptisisme
seperti yang kita jumpai dalam pikiran Hume nanti.[4]
Profil
Rene Descartes
Rene Descartes lahir di Perancis
pada tanggal 31 Maret 1596 dan meninggal di Stockholm, Swedia, 11 Februari 1650 pada umur 53
tahun), juga dikenal sebagai Renatus. Rene Descartes sering disebut
sebagai bapak filsafat modern. Rene Descartes lahir di La Haye Touraine-Prancis
dari sebuah keluarga borjuis. Ayah Descartes adalah ketua Parlemen Inggris dan
memiliki tanah yang cukup luas (borjuis). Ketika ayah Descartes meninggal dan
menerima warisan ayahnya, ia menjual tanah warisan itu, dan menginvestasikan
uangnya dengan pendapatan enam atau tujuh ribu franc per tahun. Dia bersekolah
di Universitas Jesuit di La Fleche dari tahun 1604-1612, yang tampaknya telah
memberikan dasar-dasar matematika modern. Pada tahun 1612, dia pergi ke Paris,
namun kehidupan sosial di sana dia anggap membosankan, dan kemudian dia
mengasingkan diri ke daerah terpencil di Prancis untuk menekuni Geometri, nama
daerah terpencil itu Faubourg. Teman-temannya menemukan dia di tempat
perasingan yang ia tinggali, maka untuk lebih menyembunyikan diri, ia
memutuskan untuk mendaftarkan diri menjadi tentara Belanda (1617). Ketika
Belanda dalam keadaan damai, dia tampak menikmati meditasinya tanpa gangguan selama
dua tahun. Tetapi, meletusnya Perang Tiga Puluh Tahun mendorongnya untuk
mendaftarkan diri sebagai tentara Bavaria (1619). Di Bavaria inilah selama
musim dingin 1619-1690, dia mendapatkan pengalaman yang dituangkannya ke dalam
buku Discours de la Methode (Russel, 2007:733). Descartes, kadang dipanggil
"Penemu Filsafat Modern" dan "Bapak Matematika Modern",
adalah salah satu pemikir paling penting dan berpengaruh dalam sejarah barat
modern. Dia menginspirasi generasi filsuf kontemporer dan setelahnya, membawa
mereka untuk membentuk apa yang sekarang kita kenal sebagai rasionalisme
kontinental, sebuah posisi filosofikal pada Eropa abad ke-17 dan 18.
Pemikirannya membuat sebuah
revolusi falsafi di Eropa karena pendapatnya yang revolusioner bahwa semuanya
tidak ada yang pasti, kecuali kenyataan bahwa seseorang bisa berpikir.[5]
DAFTAR PUSTAKA
Hardiman,Budi
F, “Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk
Dunia Modern” Jakarta:Erlangga
Akses Internet:
Telagahikmah.org
[2]
http://id.wikipedia.org/wiki/Cogito_ergo_sum
diakses melalui internet pada hari kamis, 3 Oktober 2013 pukul 17.01 WIB
[3] Telagahikmah.org diakses melalui internet pada hari kamis, 3
Oktober 2013 pukul 20.12 WIB
[4] Hardiman,Budi F, “Pemikiran-Pemikiran
yang Membentuk Dunia Modern” Jakarta:Erlangga, hall:34
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/RenDescartes diakses melalui internet pada hari Kamis, 3
Oktober 2013 pukul 20.30 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar