BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah
Islam
merupakan agama yang dibawa Rasulullah SAW. dengan sebuah agama yang sempurna, murni,
harmoni, dan begitu luhur akan keestetikaan budaya dan syari’at. Digambarkan
dengan kepribadian Rasulullah SAW.
yang memiliki akhlak yang mulia, bersifat sederhana dan suka melakukan kebaikan
dengan sesama makhluk. Ciri Rasulullah ini telah memberi keamanan dan rahmat
bagi seluruh alam. Sebagaimana firman Allah SWT. dalam surat Al-Anbiya ayat 107 yang berbunyi;
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Artinya: “Dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad)
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam”. (Al-Anbiya : 107)
Ayat
tersebut menganalogikan bahwa nabi Muhammad merupakan sesorang yang diharapkan
dimuka bumi dan merupakan rahmat bagi seluruh alam. Kemudian dalil tersebut
diperkuat kembali dalam surat At-Taubah
ayat 33 yang berbunyi;
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَىٰ وَدِينِ
الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
Artinya: “Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunujuk Al-Qur’an dan agama
yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala
agama, walaupun orang-orang musyrikin
tidak menyukainya”. (At-Taubah : 33)
Islam sangat memuliakan wanita,
memberi hak, dan memelihara wanita sebagai manusia, anak perempuan, sebagai istri,
ibu, maupun sebagai anggota masyarakat. Hal tersebut tidak lain ditujukan agar martabat wanita tetap utuh.
Di samping itu, Islam begitu memuliakan
wanita sebagai manusia yang diberi taklif (tugas) dan tanggung jawab yang utuh
seperti halnya laki-laki
yang kelak akan mendapatkan pahala atau siksaan sebagai balasan. Tugas yang
mulia diberikan Allah kepada manusia bukan khusus laki-laki saja, melainkan juga untuk wanita.
Allah SWT. memberikan keistimewaan
khusus bagi wanita. Keistimewaan yang dimiliki diantaranya wanita memiliki
suara yang identik lebih lembut dibandingkan kaum laki-laki. Karena kelembutannya, sebagian
umat muslim mendoktrin bahwa suara wanita dirisaukan sebagai aurat. Hal
tersebut lantaran suara yang ditimbulkan terkadang mendesah, mendesis, atau bahkan
meraung merayu hingga mengakibatkan pikiran kaum laki-laki sentak pecah terpicu syahwat.
Saat
ini banyak penyanyi-penyanyi
yang didominasi oleh para wanita. Bukan hal baru jika seorang wanita bernyanyi
di hadapan khalayak ramai meskipun lagu yang dibawakan bersifat Islami
maupun bukan Islami.
Berikutnya bukan hanya kaum laki-laki
yang bisa menjadi qori, kaum wanita pun bisa menjadi qori’ah. Bahkan kondisi tersebut
lantas
dituangkan dalam wadah MTQ antar sekolah, daerah, hingga tingkat nasional yang
tentunya dapat disimak dan disaksikan kaum laki-laki.
Disisi
yang sama, adapula kontes-kontes
nyanyian maupun qosidahan yang juga dapat dilihat kaum laki-laki. Terlebih lagi
di era globalisasi ini begitu banyak
grup-grup vokal
wanita yang memperlihatkan keindahan suara dan berlenggak-lenggok menari di hadapan khalayak
ramai, atau hal tersebut lebih dikenal dengan sebutan girl band yang lagi-lagi
tidak lepas dari pandangan dan pendengaran kaum laki-laki. Hal tersebut begitu
lumrah dan tidak asing lagi untuk disibak.
Adapun
saat mengucapkan kalimat talbiyah (dalam ibadah haji) tidak hanya kaum laki-laki
saja yang dapat melontarkan kalimat illahi dengan suara lantang, kaum
wanita pun begitu tak nampak asing ketika melakukan hal yang sama seperti laki-laki,
dimana hal tersebut dilakukan demi menunjukkan kebesaran makna kalimat
talbiyah. Dalam urusan berpidato atau orasi-orasi telah banyak ditemukan kaum
wanita yang turut serta dalam hal tersebut. Eksistensi wanita dalam hal suara
memang cukup dikenal dan telah menjadi hal yang maklum adanya.
Namun
sebagian umat muslim meyakini bahwa alasan suara wanita aurat berdasarkan
sebuah dalil yang mengatakan bahwa wanita adalah aurat, maka disimpulkan suara
wanita pun masuk ke dalam aurat. Sebagaimana
yang tertera dalam hadits berikut;
الْمَرْأَةُ
عَوْرَةٌ، فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
Artinya: “ Wanita adalah aurat, jika dia keluar maka
syetan menghias-hiasinya”. (HR. Tirmidzi
Thabarani) : shahih[1]
Berdasarkan persepsi-persepsi diatas, penulis tertarik untuk
menulis karya ilmiah berjudul “Pandangan
Islam Terhadap Suara Wanita” untuk mengetahui bagaimana sebenarnya Islam
memandang suara seorang wanita tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut diatas, maka penulis tuangkan dalam rumusan masalah
sebagai berikut:
1.
Bagaimana
pandangan Islam terhadap suara wanita?
2.
Bagaimana
kategori suara wanita yang dilarang dan dibolehkan menurut syariat Islam?
1.3 Tujuan
Penelitian
Adapun
tujuan penelitian karya ilmiah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui pandangan Islam terhadap suara wanita.
2.
Untuk mengetahui
kategori suara-suara
wanita yang dilarang dan dibolehkan menurut syariat Islam.
1.4 Manfaat
Penelitian
Penelitian
karya ilmiah tersebut memiliki manfaat sebagai berikut:
1. Agar
dapat mengetahui pandangan Islam terhadap suara wanita.
2. Agar
dapat membedakan kategori suara wanita yang dilarang dan dibolehkan menurut
syariat Islam.
1.5 Metode
Penelitian
Metode
penelitian yang digunakan penulis yaitu dengan menggunakan metode studi pustaka
(Library Research). Studi pustaka
digunakan untuk mendapatkan informasi kebenaran “Pandangan Islam Terhadap Suara Wanita”.
Studi
pustaka ini
berisi buku-buku
atau tulisan-tulisan
pokok bahasan karya ilmiah yang relevan. Dalam studi pustaka ini penulis
menjadikan beberapa panduan buku sebagai acuan dalam pembahasan yang didalamnya
berkaitan dengan penelitian, juga mengutip beberapa referensi yang berkaitan
dengan penelitian melalui media online
sebagai pendukung setiap argumentasi yang dibangun penulis.
1.6 Sistematika
Penulisan
Dalam
penulisan karya ilmiah berjudul “Pandangan
Islam Terhadap Suara Wanita” ini
penulis membagi menjadi beberapa bab, dan setiap bab terdiri dari beberapa
sub-bab. Adapun sistematika penulisan secara terperinci sebagai berikut:
Bab
pertama: Pendahuluan,
yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab
kedua: Tinjauan Pustaka,
yang terdiri dari pengertian suara, kategori suara wanita yang dilarang dalam
Islam, kategori suara yang dibolehkan dalam Islam, pengertian aurat, kategori
aurat-aurat wanita.
Bab
ketiga: Pembahasan,
mengenai hubungan suara wanita dengan aurat menurut para ulama, wanita
bernyanyi, dihadapan khalayak ramai, wanita menjadi qori’ah, wanita dalam hal
adzan dan iqomah, wanita meratap dan meraung, mengeraskan suara saat talbiyah,
dan tiga belas nasihat bersuara bagi wanita muslimah.
Bab
keempat : Penutup,
yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Pengertian
Suara
Suara
dalam ilmu fisika adalah setiap fenomena yang melibatkan propagasi dari
gelombang elastis dalam bentuk (baik terdengar atau tidak). Biasanya melalui
cairan atau media elastis lainnya yang menghasilkan gerak getaran dari tubuh.[2]
Suara
adalah fenomena getaran yang ditransmisikan dalam gelombang. Untuk menghasilkan
suara yang diperlukan untuk bergetar melalui sumber manapun, getaran dapat
ditularkan melalui cara-cara
yang berbeda, yang paling umum adalah melalui udara dan air.[3]
Suara
merupakan penggabungan energi mekanik yang merambat melalui materi dalam bentuk
gelombang (melalui cairan dalam bentuk gelombang kompresi, dan melalui padat
dalam bentuk gelombang kompresi dan geser). Suara dianggap secara lebih rinci
melalui gelombang yang generik, yaitu frekuensi, panjang, gelombang, periode,
amplitudo, kecepatan dan arah.[4]
2.2 Kategori Bentuk Suara Wanita
Yang Dilarang Dalam Islam
Para
ulama berpendapat bahwa suara wanita yang dilarang dalam Islam adalah yang
sifatnya mendayu-dayu,
mendesah, atau mendesis, sehingga menimbulkan keinginan jelek dari laki-laki yang mendengarnya.[5]
Allah
SWT. ta’ala berfirman;
يَا
نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ ۚ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ
فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ
قَوْلًا مَعْرُوفًا
Artinya: “Wahai istri-istri Nabi! Kamu
tidak seperti perempuan-perempuan yang
lain jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk (melemah lembutkan
suara) dalam berbicara sehingga bangkit hawa nafsu orang yang ada penyakit
dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik”. (Al-Ahzab : 32)
2.3
Kategori
Bentuk Suara Wanita Yang Dibolehkan Dalam Islam
Para
ulama berpendapat bahwa bentuk suara wanita yang dibolehkan dalam Islam adalah
tidak dibuat-buat,
tidak mendesah, berkata apa adanya, tidak ditinggikan, dan juga tidak terlalu
rendah. Yang demikian tidak akan menimbulkan syahwat[6]
Rasulullah SAW.
bersabda;
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ
خَيْراً أًوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ الآخِرِ
فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
Artinya: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan
hari akhir, maka hendaknya dia berkata dengan perkataan yang baik atau
hendaknya dia diam”. (muttafaq ‘alaih dari hadits Abu Hurairah
Radhiyallahu’anhuma)
2.4
Pengertian
Aurat
Aurat
berasal dari bahasa arab yang secara literal berarti celah, kekurangan, sesuatu
yang memalukan, atau sesuatu yang dipandang buruk dari anggota tubuh manusia
dan membuat malu bila dipandang.[7]
Dalam
kamus Munawwir bahasa Arab-Indonesia
definisi aurat adalah segala perkara yang dirasa malu (jika dilihatkan atau
didedahkan).[8]
Menurut
Al-Mawrid Al-Quareeb dalam “A Pocket Arabic-English
Dictionary” definition of aurat is private parts, genitals, defect, fault, and
blemish, yang artinya bagian-bagian
pribadi, kemaluan, cacat, kekurangan, dan cela.[9]
Aurat
adalah sesuatu yang terasa malu jika hal tersebut terjadi, seperti aib
seseorang yang dilihatkan maka ia akan malu, dan ada kalanya perkara itu
menjatuhkan maruah (menurunkan harga) dirinya. Aurat dari segi syara’ merupakan
suatu yang wajib ditutup atau sesuatu yang haram dilihat.[10]
2.5
Kategori
Aurat-Aurat
Wanita
Ulama berpendapat mengenai batas aurat
wanita merdeka. Al-Hadi,
At-Qasim dalam satu
dari dua pendapatnya, Imam Syafe’i dalam satu dari beberapa pendapatnya, Abu
Hanifah dalam satu dari dua riwayat darinya, dan Imam Malik mengatakan bahwa
aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan.[11]
Berikutnya Al-Qasim dalam satu perkataannya, Abu Hanifah
dalam satu riwayatnya, At-Tsauri
dan Al-Abbas mengatakan
bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan kedua telapak tangan,
dan kedua telapak kaki sampai tempat gelang kaki. Adapun menurut sebagian murid
Imam Syafe’i dan riwayat Ahmad bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuhnya tanpa
kecuali.[12]
Allah
SWT. berfirman dalam surat An-Nur
ayat 31 yang berbunyi;
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ
أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا
مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا
يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ
بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ
إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ
أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ
مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ
النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ
زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Dan katakanlah kepada perempuan yang
beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan
janganlah menampakkan perhiasannya (aurat), kecuali yang biasa terlihat. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya (aurat), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah
suami mereka, atau putra-putra mereka,
atau putra-putra suami mereka, saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka,
atau putra-putra saudara perempuan mereka,
atau para perempuan (sesama Islam mereka), atau hamba sahaya yang mereka miliki,
atau para pelayan laki-laki (tua) yang
tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan.
Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung”. (An-Nur : 31)
Ayat
tersebut memaparkan bahwa seorang wanita diperintahkan untuk menjaga pandangan
dan tidak boleh menampakkan perhiasan (aurat) kecuali dihadapan mahram wanita
tersebut. Selain itu, seorang wanita dilarang untuk menghentakkan langkah kaki
saat melangkah dihadapan orang banyak terutama dihadapan kaum laki-laki. Hal
tersebut diperintahkan Allah kepada wanita semata-mata untuk menghindari wanita
dari marabahaya, karena apapun yang diperintahkan Allah kepada makhluk-Nya
selalu mengandung hikmah dan merupakan suatu kewajiban untuk dilakukan dari apa
yang Allah perintahkan.
BAB
III
PANDANGAN
ISLAM TERHADAP SUARA WANITA
Allah
SWT. memberikan keistimewaan pada wanita, keistimewaan tersebut yakni wanita memiliki
suara yang identik lebih lembut dibandingkan kaum laki-laki. Untuk mengetahui bagaimana
pandangan Islam yang sebenarnya mengenai suara wanita, berikut hasil penelitian
yang telah diambil dari beberapa referensi yang relevan.
3.1 Hubungan Suara Wanita Dengan
Aurat Menurut Para Ulama
Sejauh ini banyak orang yang
beranggapan bahwasannya suara wanita sama halnya dengan suara laki-laki yang tidak membangkitkan syahwat
atau nafsu. Banyak pendapat-pendapat mengenai suara wanita. Ada sebagian ulama
yang berpendapat bahwa suara wanita adalah aurat, namun ada pula sebagian ulama
yang lain berpendapat bahwa suara wanita tidak masuk ke dalam aurat.
3.1.1 Pendapat Para Ulama Madzhab
a. Hanafiyah
Menurut
Imam Abu Hanifah dan pengikutnya suara wanita merupakan aurat. Pendapat ini didasarkan atas beberapa dalil, misalnya
etika wanita dalam shalat jama’ah bersama kaum laki-laki yang mensyariatkan
wanita untuk bertepuk tangan ketika mengetahui terjadi kesalahan pada imam shalat.
Sebagaimana
disebutkan dalam sebuah hadits Rasulullah yang ditanya tentang cara menegur
imam yang keliru, dan beliau menjawab;
مَنْ نَابَهُ شَىْءٌ فِى صَلاَتِهِ
فَلْيُسَبِّحْ فَإِنَّهُ إِذَا سَبَّحَ الْتُفِتَ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا
التَّصْفِيحُ لِلنِّسَاءِ
Artinya: “Barang siapa menjadi makmum lalu merasa
ada kekeliruan dalam shalat, hendaklah
ia membaca tasbih. Karena jika dibacakan tasbih, dia (imam) akan
memperhatikannya. Sedangkan tepukkan khusus untuk wanita”. (HR. Bukhari no.
7190 dan Muslim no. 421).
Jika memang bukan aurat pastilah
wanita dapat melakukan hal yang sama dengan pria, yakni mengucapkan subhanallah. Namun menurut ulama lain
alasan ini lemah dan penakwilan yang berlebihan, sebab apa yang wanita lakukan
dengan bertepuk tangan ketika meluruskan kekeliruan imam merupakan aturan baku
yang ada dalam shalat
yang sifatnya ta’abudiyah yang tidak
ada kaitannya dengan aurat maupun bukan aurat. Dalil lainnya berdasarkan hadits
Rasulullah yang berbunyi;
الْمَرْأَةُ
عَوْرَةٌ، فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
Artinya: “Wanita adalah aurat, jika dia keluar maka
syetan akan menghias-hiasinya”.
(HR.Tirmidzi).
Hadits riwayat Tirmidzi yang
memaparkan wanita adalah aurat merupakan hadits umum yang menginformasikan
secara umum bahwa tubuh wanita adalah aurat, yang kemudian ditakhsis (dibatasi) dengan hadits-hadits yang menunjukkan bahwa wajah,
telapak tangan dan termasuk suara adalah yang dikecualikan. Berikutnya
berdasarkan potongan ayat dari surat An-Nur
ayat 31 yang berbunyi;
وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ
لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ
Artinya: “……Dan janganlah mereka menghentakkan
kakinya agar di ketahui perhiasan yang mereka sembunyikan…….”. (An-Nur : 31)
Menurut madzhab Hanafiyah jika suara
perhiasan di kaki (gelang) saja dilarang untuk sengaja untuk diperdengarkan,
apalagi suara asli dari wanita yang lebih berpengaruh terhadap laki-laki dibanding suara gelang.
Menurut para ulama lain, dalil dari
ayat tersebut tidaklah tepat kaitannya dengan suara wanita karena yang dilarang
dari seorang wanita dalam ayat tersebut adalah perbuatannya yang memamerkan
perhiasan. Jika dikaitkan dengan suara wanita tentu tidak tepat karena suara
manusia itu termasuk kebutuhan yang sangat penting. Keharaman barulah muncul
apabila dipergunakan untuk merayu dan mengundang syahwat.
Pada dasarnya dalam ilmu fiqh telah
diketahui adanya dalil yang bersifat ‘aam
(umum) dan dalil khos (khusus).
Jadi sebuah dalil terkadang bermakna mujmal
(global) tetapi adapula yang muqayyid
(terbatasi), contohnya firman Allah SWT. dalam surat Al-Maidah ayat 3 yang menjelaskan keharaman
semua bangkai, tetapi kemudian dikhususkan bangkai binatang laut darinya. Dalil
takhsis lainnya yakni sabda Rasulullah
SAW. yang berbunyi;
أُحِلَّتْ لنا مَيتَتَانِ الجراد و الحوتُ
Artinya: “Dihalalkan bagi kami dua bangkai…… yaitu
(bangkai) ikan dan belalang”.
Oleh
karena itu para ahli ushul fiqh membuat kaidah;
“Memahami dalil yang umum harus
dibatasi oleh yang khusus”.[13]
b. Malikiyah dan Hanabilah
Madzhab
Malikiyah dan Hanabilah memaparkan bahwa suara wanita bukanlah aurat, yaitu
ketika sebagian muslim berpendapat tidak dibencinya mendengarkan nyanyian
wanita.[14]
Artinya, boleh mendengarkan nyanyian dari suara wanita karena hal tersebut
bersifat hiburan.
c. Syafi’iyah
Menurut
madzhab Syafi’iyah bahwa suara wanita bukanlah aurat, bahkan boleh mendengarkan
suara wanita bernyanyi dengan catatan aman dari fitnah.[15]
Fitnah disini yakni tidak memperlihatkan hal yang dapat membangkitkan syahwat,
dapat berpakaian rapih, dan lagu yang dibawakan tidak mengakibatkan para
pendengar berimajinasi negatif.
3.1.2 Pendapat Ulama Lain
Adapun
pendapat ulama-ulama
lain diantaranya:
a.
Umairah
mengatakan bahwa suara wanita bukan aurat berdasarkan pendapat shahih, maka
tidak haram mendengarnya.[16]
b.
Zainudin Al-Malibary
mengatakan bahwa suara wanita tidak termasuk aurat, karena itu tidak haram
mendengarkannya kecuali di khawatirkan fitnah atau berlezat-lezat dengannya sebagaimana yang telah
dibahas oleh Zarkasyi.[17]
c.
Syaikh Al-Jaziri Hafizhahullah
mengatakan bahwa suara wanita bukanlah aurat karena istri-istri Nabi dahulu juga bercakap-cakap dengan para sahabat.[18]
Musa
bin Thalhah Ra. Berkata:
مَا رَأَيْتُ أَحَدًا
أَفْصَحَ مِنْ عَائِشَةَ
Artinya: “Aku
tidak pernah melihat seorangpun yang lebih fasih bicaranya daripada Aisyah”.
(HR. Tirmidzi)
Dalam hadits ini diidentifikasikan
bahwa para sahabat nabi pada zaman dahulu meminta fatwa dari Aisyah Ra. Maka
tidak ada yang salah jika wanita mengeluarkan suara selagi dapat menempatkan
dan tidak menimbulkan syahwat maupun fitnah. Juga bukanlah aurat apabila semua
aktivitas itu berupa perkataan-perkataan
(tasharrufat qauliyah).[19]
Dari berbagai persepsi-persepsi diatas, dapat didedikasikan
bahwa pendapat terkuat yakni pendapat yang mengatakan suara wanita tidak masuk
kedalam aurat. Hanya saja suara wanita dapat menjadi haram jika suara yang
dikeluarkan tidak sesuai dengan apa adanya, seperti: mendesah, mendesis,
merayu, meraung, dan terlalu melemah lembutkan suara hingga suara yang
dikeluarkan tersebut menimbulkan fitnah.
3.1.3
Tafsir Surat An-Nur ayat 31
Berikut
merupakan penafsiran para ulama mengenai surat An-Nur ayat 31, diantaranya;
- Pertama:
وَلَا
يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ
“…..dan janganlah menampakkan perhiasannya (aurat),
kecuali yang biasa terlihat…”
Tentang
perhiasan yang biasa nampak ini, Ibnu Abbas berkata, “wajah dan telapak
tangan.”[20]
Tetapi berbagai riwayat dari Ibnu Abbas tentang penafsiran ini dilemahkan oleh
Syeikh Musthafa Al-Adawi dalam kitabnya “Jami’ Ahkamin Nisa”. Tentang hal ini
terdapat riwayat-riwayat shahih dari perkataan sebagian tabi’in.[21]
Perkataan
serupa juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Umar. Berdasarkan
penafsiran kedua sahabat ini jelas bahwa wajah & telapak tangan wanita
boleh kelihatan, sehingga bukan merupakan aurat yang wajib ditutup.[22]
-
Kedua:
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ
جُيُوبِهِنَّ
“… dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung
pada dada (dan leher) mereka…”
Ibnu
Hazim rahimahullah berkata, “Allah ta’ala memerintahkan para wanita untuk menutupkan
kain kerudung pada belahan-belahan baju (dada & leher), maka ini merupakan
nash bolehnya membuka wajah, tak mungkin selain itu, karena memang kerudung
untuk penutup kepala.” Demikian diterangkan oleh para ulama seperti tersebut
dalam An-Nihayah karya Imam Ibnul Atsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya
Al-Hafizh Ibnu Katsir, Tafsir Fathu Al-Qadir karya Asy Syaukani & lainnya. [23]
-
Ketiga:
وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ
لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚ
“...dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan…”
Seorang
wanita dilarang menghentakkan kaki saat berjalan, karena jika hal itu dilakukan
bukan tidak mungkin akan menarik perhatian bagi orang-orang yang ada disekitar
wanita tersebut. Jika orang-orang sekitar wanita tersebut merupakan laki-laki
maka dikhawatirkan akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, artinya mungkin
saja akan terjadi peristiwa kejahatan, kebodohan, maupun pelecehan.
Mengenai
aurat wanita yang tertera diatas nampak tidak ada kaitannya dengan makna aurat
pada suara wanita, karena aurat yang dimaksud merupakan dalam bentuk wujud dan
perbuatan, tidak dispesifikan kepada suara wanita.
3.2
Wanita Bernyanyi Dihadapan Khalayak Ramai
Suara orang bernyanyi tentu berbeda
dengan suara orang bicara secara normal. Wanita bernyanyi cenderung lemah
lembut, ada cengkokan, terkadang meninggi, dan lain-lain. Jika wanita tersebut menampilkan
penampilan seronok (tidak sopan) maka tidak diragukan bahwa hal tersebut haram,
karena dapat menimbulkan keinginan buruk dari kaum laki-laki, dan bukan tidak mungkin akan
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Pada hakikatnya Allah SWT.
menganugerahkan panca indera seperti mulut untuk digunakan dengan sebaik
mungkin. Tidak ada yang salah jika seorang wanita bernyanyi dengan sopan,
pakaian yang syar’i, dan tidak ada maksiat lainnya.
Dari
Rubayyi’ binti Mu’awwidz beliau berkata yang artinya:
“Pada pagi hari
Rasulullah datang ke pernikahan saya, kemudian beliau duduk dikursi saya
seperti halnya kamu duduk didepan saya sekarang ini. Lalu saya memerintahkan para
jariyah ( budak wanita-remaja)
memainkan duff (gendang) dengan menyanyikan lagu-lagu
perjuangan orang tua kami yang gugur pada Perang Badar”. Mereka terus bernyanyi
dengan syair yang mereka kuasai, hingga salah seorang jariyah mengucapkan
sebuah syair: “Diantara kita telah hadir seorang Nabi yang mengetahui
hari yang akan datang”. Maka Nabi Muhammad menanggapi, “Syair
yang ini janganlah kamu nyanyikan”. (HR.Bukhari: Shahih.)[24]
Dari riwayat tersebut Rasulullah
membolehkan dan mendengarkan wanita bernyanyi. Adapun Rasul menanggapi syair
tersebut karena tidak ada satupun yang tahu akan hari esok kecuali Allah ‘Azza
wa jalla.
Islam tidak pernah mempersulit syariat
hukum yang ada. Namun hal tersebut bukan berarti dapat mudah disepelekan.
Sebagai muslimah yang baik, hendaknya terbuka untuk turut serta menyentuh
syariat hukum yang ada agar tidak tersesat dan terjatuh pada lubang yang salah.
Allah
SWT. berfirman dalam surat Al-Ankabut
ayat 43 yang berbunyi;
وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا
لِلنَّاسِ ۖ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ
Artinya:
“Dan perumpamaan-perumpamaan
ini kami buat untuk manusia, dan tidak ada yang akan memahaminya kecuali mereka
yang berilmu”. ( QS. Al-Ankabut : 43).
3.3 Wanita Menjadi Qori’ah
Qori’ah berasal dari
kalimat قرأ (qara’a) yang artinya baca.
Maka definisi qori’ah merupakan pembaca Al-Qur’an
wanita. Tidak hanya kaum laki-laki yang dapat
melantunkan ayat suci Al-Qur’an dengan nada yang indah didengar, kaum wanita pun sudah tak
asing lagi. Membaca Al-Qur’an dengan suara keras bagi wanita dihadapan ajnabi bagi sebagian
ulama menyatakan tidak haram selama aman dari fitnah, namun makruh mengeraskan
bacaan didalam shalat karena dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah.[25]
Media qori’ah dapat
dijadikan media dakwah Islam dan merupakan suatu kelebihan yang dimiliki
seorang wanita. Banyak perlombaan-perlombaan Musabaqah
Tilawatil Qur’an (MTQ), baik mencakup daerah, provinsi, maupun nasional yang sampai
saat ini tidak ada pelarangan dalam hal tersebut. Wanita melantunkan ayat Al-Qur’an
dihadapan khalayak ramai tidak menjadi haram selagi konsisten pada syariat
Islam, memakai pakaian rapih, dan suara tidak dibuat berlebihan.Yang dilarang
adalah apabila suara itu dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah meskipun ketika
wanita itu membaca Al-Qur’an.[26]Apapun yang dilakukan jika
hal tersebut merupakan hal positif, Allah pun akan meridhoi. Namun sebaliknya
jika hal tersebut bersifat negatif maka Allah pun tidak akan meridhoi dan tidak
akan ada hikmah.
3.4 Wanita Dalam Hal Adzan dan Iqomah
Seperti yang telah
diketahui, adzan selalu dilantunkan oleh kalangan laki-laki.
Adzan merupakan seruan seseorang untuk melakukan shalat, biasanya bersumber
dari dalam masjid untuk kemudian disebar luaskan ke khalayak ramai menggunakan sound
system. Tentunya adzan akan didengar banyak orang. Para ulama berpendapat
bahwa diharamkan bagi wanita untuk beradzan, sebab bagi yang mendengar adzan
disunahkan untuk memandang muadzin (orang yang beradzan).[27] Hal ini memastikan tidak
aman dari fitnah. Disamping itu orang yang beradzan diharapkan melantunkan
adzan dengan penuh penghayatan dan jika hal ini dilakukan oleh wanita, bukan
tidak mungkin akan menimbulkan fitnah dan prasangka buruk dari kaum adam yang
berfikiran tidak sehat.
Sedangkan iqomah
merupakan tanda akan dimulainya salat. Dal hal ini tidak mengapa jika seorang
wanita beriqomah dihadapan kaum wanita, jika terdapat kaum laki-laki
tentulah wajib bagi laki-laki tersebut
untuk iqomah dan wanita tidak boleh. Iqomah tidak perlu disebarluaskan ke
khalayak ramai karena hanya ditujukan kepada para jama’ah salat yang ada.
3.5 Wanita Meratap dan Meraung
Wanita
memiliki perasaan yang lebih halus dibanding laki-laki sehingga bila ditimpa
musibah atau sesuatu yang tidak diinginkan wanita lebih mudah menangis apalagi
ditinggal mati oleh orang yang disayangi, saat itulah wanita berpeluang meratap
dan meraung-raung hingga menjambak rambut, memukul dada, atau bahkan
mengeluarkan banyak perkataan yang memprihatinkan.
Perilaku seperti itu sama sekali tidak mencerminkan wanita
berakhlak baik. Seorang muslimah
diajarkan untuk dapat sabar dan tabah dalam menghadapi musibah, sebab musibah
yang menimpa itu sama sekali tidak lain dari kehendak Allah SWT. Karena Allah
adalah Tuhan Yang Maha Baik dan Maha sempurna, maka pasti dalam kehendak tersebut
mengandung kebaikan bagi manusia.
Wanita yang meratap
dan meraung-raung atas musibah yang menimpa yang disebabkan oleh kemarahan dan
ketidakrelaan pada takdir Allah, maka jelas ia telah melakukan dosa besar.[28]
Allah SWT. berfirman dalam surat Huud ayat 11 yang berbunyi;
إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ أُولَٰئِكَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ
Artinya:
“Kecuali, orang-orang
yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal-amal salih. Mereka itu beroleh
ampunan dan pahala yang besar.” (QS.Huud : 11)
Dalam pembahasan ini
bukan berarti menangis tidak diperbolehkan saat ditimpa musibah, namun perkara
yang dilarang saat menghadapi musibah dengan menangis berlebihan, berteriak
sekeras-kerasnya, meratap, mengharu biru pada mayit, memukuli muka sendiri,
mengoyak-ngoyak pakaian, dsb. yang menunjukkan ketidakrelaan kepada
ketentuan Allah. Sedang bagi yang masih dalam batas wajar tidak menyebabkan
dosa.[29]
Tetap istiqomah
merupakan kunci kesuksesan yang dapat diraih. Dengan tidak mengeluh akan
menjadikan hidup penuh warna dan penuh percaya diri. Innallaaha ma’a
shaabiriina..
3.7 Mengeraskan Suara
Saat Talbiyah
Para ulama sepakat bahwa wanita tidak
disunahkan untuk mengeraskan suara saat talbiyah. Seorang wanita hanya boleh
mendengarkan atau mengucapkan kalimat talbiyah yang sekiranya hanya bisa
didengar oleh wanita itu sendiri. Hal ini dikatakan oleh imam Malik, Al-Awza’i,
Atha, Ashab Al-Ra’yi (mazhab rasionalis), dan imam Syafi’i. Pendapat ini
didasarka pada sebuah riwayat dari ibnu Umar yang berkata yang artinya;
“Perempuan hendaknya tidak naik melebihi bukit Shafa dan Marwah dan tidak
mengeraskan suaranya saat bertalbiyah”. (HR. Baihaqi). Riwayat serupa juga
dikeluarkan oleh ibnu Abbas.
Menurut
fuqoha mazhab Zhahiriyah (kaum tekstualis), mengeraskan suara saat talbiyah
adalah wajib, baik bagi jama’ah laki-laki maupun perempuan. Alasannya pada masa
Rasulullah dan setelahnya, orang-orang bebas mendengarkan perkataan-perkataan
istri beliau. Tidak ada satupun orang yang melarangnya.
Namun
para ulama-ulama khususnya di Indonesia lebih sepakat dengan pendapat yang
menyatakan bahwa wanita tidak boleh mengeraskan suara saat talbiyah, karena
sesuai dengan kodrat wanita yang mempunyai rasa malu lebih besar, Selain itu,
merendahkan suara di tengah-tengah laki-laki jauh lebih aman bagi diri seorang
wanita. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas fuqoha.[30]
3.6 Tiga belas Nasehat Bersuara Bagi Wanita Muslimah
Suara wanita
diciptakan untuk diucapkan, namun jangan sampai suara tersebut mendatangkan
fitnah. Untuk menentukan suara sperti apa yang bisa mendatangkan fitnah, maka
ukurannya adalah manusia yang berhati sehat. Sebab bagi orang yang hatinya
sakit kronis, suara wanita yang wajar tetap dianggap dapat membangkitkan hasrat
nafsu pula. Berikut ini merupakan tiga belas nasehat-nasehat
bersuara yang baik bagi wanita muslimah, diantaranya:
1.
Bacalah
Al-Qur’an karim dan bersemangatlah untuk menjadikan itu sebagai wirid
keseharian, dan senatiasalah berusaha untuk menghafalkannya sesuai kesanggupan
agar bisa menggapai pahala yang paling
besar dihari kiamat nanti.
Dari Abdullah bin Umar Ra. dari Rasulullah SAW, beliau bersabda;
“Dikatakan
pada orang yang senang membaca Al-Qur’an: bacalah dengan tartil sebagaimana engkau dulu sewaktu
didunia membacanya dengan tartil, karena sesungguhnya kedudukanmu adalah pada
akhir ayat yang engkau baca.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi)
2.
Tidaklah
terpuji jika seseorang meyampaikan setiap apa yang ia dengarkan dengan tidak
secara langsung karena kebiasaan ini akan menjatuhkan diri kedalam kedustaan.
Dari Abu Hurairah Ra, sesungguhnya Rasulullah SAW. Bersabda;
“Cukuplah
seseorang itu dikatakan sebagai pendusta ketika dia menyampaikan setiap apa
yang dia dengarkan”. (HR. Muslim dan Abu Daud)
3.
Jauhkanlah
dari sikap menyombongkan diri (berhias
diri) dengan sesuatu yang tidak ada pada diri sendiri dihadapan manusia.
Dari
Aisyah Ra. ada seorang wanita yang mengatakan;
“Wahai
Rasulullah! Aku mengatakan bahwa suamiku memberikan sesuatu kepadaku yang
sebenarnya tidak diberikannya. Berkata Rasulullah SAW: “Orang yang merasa
memiliki sesuatu yang ia tidak diberi, seperti orang yang memakai dua pakaian
kedustaan”. (muttafaq ‘alaih)
4.
Sesungguhnya
dzikrullah memberikan pengaruh yang kuat didalam kehidupan ruh seorang muslim,
kejiwaan, jasmani, dan kehidupan masyarakat, maka bersemangatlah untuk berdzikir
kepada Allah ta’ala disetiap waktu dan keadaan. Allah ta’ala memuji hamba-hamba
Nya yang mukhlis dalam potongan firman-Nya;
الَّذِينَ
يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ
Artinya:
“(Yaitu) orang-orang
yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring……”
(Ali-Imron : 191)
5.
Jika
hendak berbicara, maka jauhilah sifat merasa kagum dengan diri sendiri, sok
fasih, dan terlalu memaksakan diri dalam bertutur kata, sebab ini merupakan
sifat yang sangat dibenci Rasulullah SAW, dimana beliau bersabda;
“Sesungguhnya
orang yang paling aku benci diantara kalian dan yang paling jauh majelisnya
dariku pada hari kiamat, orang berlebihan dalam berbicara, sok fasih dengan ucapannya dan merasa ta’ajub
terhadap ucapannya”. (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Hiban, dan lainnya dari hadits Abu Tsa’labah Al-Khusyani Ra.)
6.
Jauhilah
dari terlalu banyak tertawa, terlalu banyak bicara dan berceloteh. Jadikanlah
Rasulullah SAW. sebagai teladan, dimana beliau lebih banyak diam dan banyak
berfikir. Beliau pun menjauhkan diri dari banyak tertawa dan menyibukkan diri
dengannya, bahkan jadikanlah setiap apa yang diucapkan itu adalah perkataan
yang mengandung kebaikan. Jika tidak, maka diam itu lebih utama. Rasulullah
SAW. bersabda;
“Barang
siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya dia berkata
dengan perkataan yang baik, atau hendaknya dia diam”. (Muttafaq’alaih dari
hadits Abu Hurairah Ra)
7.
Jadikanlah
ucapan yang diucapkan menjadi perkataan yang ringkas, jelas, dan tidak bertele-tele
yang akan memperpanjang pembicaraan.
8.
Janganlah
memotong pembicaraan seseorang yang sedang berbicara atau membantahnya, maka
jadikanlah bantahan tersebut dengan cara yang paling baik sebagai syi’ar
kepribadian.
9.
Berhati-hatilah
dari suka mengolok-olokan terhadap cara berbicara seseorang, seperti orang yang
terbata-bata dalam berbicara atau seseorang yang kesulitan berbicara. Allah
SWT. berfirman;
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ
يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ
خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا
بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ لَمْ
يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya:
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan lainnya,
boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula
sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan
itu lebih baik”. (Al-Hujurat : 11)
10.
Jika
mendengarkan bacaan Al-Qur’an, maka berhentilah dari berbicara apapun yang dibicarakan
karena itu merupakan adab terhadap kalamullah dan juga sesuai dengan
perintah Allah di dalam firman-Nya;
وَإِذَا
قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Artinya:
“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah dengan baik dan perhatikanlah dengan
tenang agar kalian diberi rahmat”. (Al-A’raf : 204)
11.
Bertakwalah
kepada Allah, bersihkan majelis dari ghibah (menggunjing) dan namimah
(adu domba) sebagaimana yang Allah
perintahkan untuk menjauhinya. Bersemangatlah untuk menjadikan didalam majelis
itu adalah perkataan-perkataan yang baik dalam rangka menasehati dan memberikan petunjuk
kepada kebaikan. Perkataan itu adalah sebuah perkara yang besar, berapa banyak
dari perkataan seseorang yang dapat menyebabkan kemarahan dari Alla dan
menjatuhkan pelakunya kedalam jurang neraka. Didalam hadits Mu’adz Ra. tatkala
beliau bertanya kepada Rasulullah SAW:
“Apakah
kami akan disiksa dengan apa yang kami ucapkan?” Maka Rasulullah SAW. Menjawab:
“Engkau telah keliru wahai Mu’adz, tidaklah manusia dilemparkan ke neraka
diatas wajah-wajah
mereka melainkan disebabkan oleh ucapan-ucapan mereka”. (HR. At-Tirmidzi, An-Nassai, dan
Ibnu Majah)
12.
Berhati-hatilah
semoga Allah menjaga dan tidak menghadiri majelis yang buruk dan berbaur dengan
para pelakunya, dan bersegeralah semoga Allah menjaga menuju majelis yang penuh
dengan keutamaan, kebaikan, dan keberuntungan.
13.
Berhati-hatilah
dari terlalu banyak berceloteh dan terlalu banyak berbicara. [31] Allah ta’ala berfirman dalam surat An-Nisa
ayat 114 yang berbunyi;
لَا
خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ
مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ابْتِغَاءَ
مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
Artinya:
“Dan tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan orang
yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan
kedamaian diantara manusia”. (An-Nisa : 114)
Semoga Allah
senantiasa merahmati segala perbuatan dan menunjukkan kepada jalan kebaikkan,
karena Allah senantiasa mengamati dan mencatat setiap perkataan-perkataan
yang dilontarkan juga segala perbuatan-perbuatan yang dilakukan.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil
penelitian yang telah dikaji oleh penulis pada bab-bab
sebelumnya mengenai “Pandangan Islam Terhadap Suara Wanita”, dapat
diidentifikasikan
bahwa pendapat terkuat yakni pendapat yang mengatakan suara wanita tidak masuk
kedalam aurat.
Kategori suara wanita yang dibolehkan dalam Islam yakni jika suara
yang dikeluarkan bersifat apa adanya, berbicara seperlunya, dan berbicara
dengan perkataan dan sikap yang baik.
Kategori suara yang
dilarang dalam Islam yakni suara yang ditimbulkan dibuat-buat,
mendesah, mendesis, merayu, meraung, atau bahkan terlalu melemah lembutkan suara hingga menimbulkan fitnah. Jika hal tersebut terjadi maka haram untuk didengar dan di
khawatirkan akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
4.2 Saran
Dalam penulisan
karya ilmiah berjudul “Pandangan Islam Terhadap Suara Wanita” ini,
penulis menyarankan juga menghimbau kepada para pembaca khususnya bagi kaum wanita
untuk :
1.
Tetap
menjaga setiap perkataan yang diucapkan.
2. Tidak meninggikan dan tidak pula terlalu merendahkan suara terutama
dihadapan kaum laki-laki.
3.
Tetap
menjaga pandangan pada saat berbicara dengan kaum laki-laki.
4. Lebih baik tidak bernyanyi di hadapan kaum laki-laki
karena bukan tidak mungkin mudah menimbulkan fitnah.
5. Tidak berbicara dengan nada yang kurang baik seperti mendesah, atau
terlalu melembutkan suara.
6. Berbicara seperlunya, tidak berlebihan, juga tidak berbicara hal
yang tidak penting.
7. Bersikap baik saat berbicara kepada orang lain.
Semoga karya ilmiah
ini menjadi salah satu amal yang takkan terputus dan dapat bermanfaat,
khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca (amiin).
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad,
Husein, 2001 Fiqh Perempuan,
Yogyakarta: PT.Lkis Printing
Cemerlang.
Labib, Aqis,
2005, Risalah Fiqh Wanita, Surabaya: Bintang Usaha.
Kamus Munawwir bahasa Arab-Indonesia,
2000, cet.1.
Al-Quareeb, Al-Mawrid, A Pocket Arabic-English Dictionary,
2001, cet.1.
Fiqh Al-Manhaji
A’la Al-Madzhab Al-Imam Syafe’I, jilid 1.
Al Mausu’ah Fiqihiyah Al-Kuwaitiyah juz
4.
Hasyiah Qalyubi
wa ‘Umairah, Dar Ihya Al-Kutub Al-Arabiyah,
1/177.
Fath A-Mu’in, Semarang: Thaha Putra, cet. III.
Fiqh ‘Ala
Mazhabil ‘Arba’ah, 1/170.
Daud,
Abu, Sunan, Fin Nahyi Al-Ghina, HR. Bukhari, juz 16.
Khotib, Ahmad, 2001,
Dosa-Dosa Khas Wanita Paling Dibenci Allah,
Yogyakarta:
DIVA Press.
Sayyid Hassan,
Ahmad, 2007, At-Taqrirah As-Sadidah, Mojokerto: PC LBM.
Ibnu Abi Syaibah & Isma’il Al-Qadhi, dishahihkan oleh syaikh
Al-Albani,
“Jilbab
Al-Mar’ah Al-Muslimah”, (Al-Maktabah Al-Islamiyyah),
cet.I
Al Muhala III/216-217, Jilbab Mar’ah Al-Muslimah.
Al-Qur’an
Al-Karim.
Akses internet:
http://quran.ittelkom.ac.id/?sid=21&aid=107&pid=arabicid/
http://id.shvoong.com/exactsciences/physic/2313606-pengertian-bunyi-suara/
http://www.artikata.com/pengertian-suara.html/
http://suara-dan-gerak-tubuh-wanita.html/
http://uwaish.multiply.com/journal/item/9?&showinterstitiajournalfitem/
http://www.dakwatuna.com/2012/06/21222/fitnah-dan-suara-wanita/
http://konsultasi-wanita-muslimah.com/
http://www.muslimah.or.id/
http://www.dakwatuna.com/2007/01/37/pengantar-ushul-fiqh/
BIOGRAFI
PENULIS
Penulis bernama Siti Khumaeroh, lahir di kota Serang pada hari Senin tanggal 23 Mei 1994. Penulis yang mempunyai hobi bernyanyi ini merupakan
anak keenam dari tujuh bersaudara (memiliki lima saudara perempuan dan satu saudara laki-laki), juga memiliki satu saudara perempuan dari satu ibu. Sebelumnya
penulis pernah menjelajahi dunia pendidikan di:
v
SD Negeri
9 Kota Serang pada tahun 2007
v SMP Negeri 14 Kota Serang pada tahun 2010
v Madrasah Aliyah (MA) Assa’adah 2013
v Universitas Brawijaya
v Universitas Brawijaya
Penulis merupakan
salah satu siswa yang mendapatkan Program Akselerasi (pada tahun 2010) semasa Aliyah.
Pengalaman yang pernah diraih penulis diantaranya pernah menjadi peserta MTQ
tingkat Kabupaten Serang (2011), menjadi peserta Sari Tilawah Qur’an Milad IAIN
se-Kab. Serang (2011), mengikuti lomba Nasyid dan meraih juara II dalam
Festival Nasyid Al-Islam se-Prov. Banten (2011).
Saat ini penulis menapaki pendidikan S1 Psikologi di Universitas Brawijaya
Saat ini penulis menapaki pendidikan S1 Psikologi di Universitas Brawijaya
Adapun jika terdapat kekeliruan/saran dapat menghubungi penulis
melalui e-mail penulis: geminizonemay@gmail.com
[1]
Hadits shahih riwayat
Tirmidzi no. 1173, Ibnu Khuzaimah 111/95 dan At-Thabarani dalam Mu’jamulkabirr
no. 10115, dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu’anhuma.
[2]
http://id.shvoong.com/exactsciences/physic/2313606-pengertian-bunyi-suara/
di akses melalui internet pada hari Selasa, 23 Oktober 2012 pukul 16.20 WIB.
[3]
http://pakarfisika.wordpress.com/2009/12/25/gelombang-suara/
di akses melalui internet pada hari Selasa, 23 Oktober 2012 pukul 16.32 WIB.
[4]
http://www.artikata.com/pengertian-suara.html/
di akses melalui internet pada hari Selasa, 23 Oktober 2012 pukul 16.40 WIB.
[5]
http://suara-dan-gerak-tubuh-wanita.html/
di akses melalui internet pada hari Minggu, 21 Oktober 2012 pukul 16.00 WIB.
[6]Husein
Muhammad, Fiqh Perempuan,
(Yogyakarta: PT.Lkis Printing Cemerlang, 2001) hal. 67.
[7] http://uwaish.multiply.com/journal/item/9?&showinterstitial=1&u%2fjournal%2fitem/
di akses melalui internet pada hari Selasa, 23 Oktober 2012 pukul 16.20 WIB.
[11]
Op.cit Husein Muhammad, Fiqh Perempuan
hal.71.
[12]
Ibid.
[13]
http://www.dakwatuna.com/2007/01/37/pengantar-ushul-fiqh/
di akses melalui internet pada hari Jum’at, 16 November 2012 pukul 11.15 WIB.
[15]Loc.cit
hal. 31/47.
[17]
Fath Al-Mu’in,
(Semarang:Thaha Putra) hal.260 cet. III.
[18]
Fiqh ‘Ala Mazhabil ‘Arba’ah, 1/170.
[20]
Ibnu Abi Syaibah & Isma’il
Al-Qadhi, dishahihkan oleh syaikh Al-Albani, “Jilbab Al-Mar’ah Al-Muslimah”,
(Al-Maktabah Al-Islamiyyah), cet.I hal. 59-60
[21]
http://www.muslimah.or.id/
diakses melalui internet pada hari Minggu, 02 Desember 2012 pukul 13.05 WIB.
[22]Loc.cit
[23]Al
Muhala III/216-217, Jilbab Mar’ah Al-Muslimah, hal.73
[24]
Sunan Abu Daud, bab Fin Nahyi Al – Ghina, HR. Bukhari, juz 16, hal.116 no.4750.
[25]
http://www.dakwatuna.com/2012/06/21222/fitnah-dan-suara-wanita/
di akses melalui internet pada hari Jum’at, 16 November 2012 pukul 11.59 WIB.
[26]Labib
Mz & Aqis Bil Qisthi, Risalah Fiqh Wanita, (Surabaya: Bintang Usaha,
2005), hal. 375.
[27]
http://konsultasi-wanita-muslimah.com/
diakses melalui internet pada hari Jum’at, 26 Oktober 2012 pukul 11.00 WIB.
[29]
Sayyid Hassan Ahmad, At-taqrirah as-sadidah (Mojokerto: PC LBM dan LTN
NU, 2007) hal.392.
[30]
http://www.jurnalhaji.com/mengeraskan-suara-saat-talbiyah/
diakses melalui internet pada hari Selasa, 27 November 2012 pukul 16.30 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar