Halaman

Sabtu, 07 Desember 2013

Kisah Cinta Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-zahra


"Duhai Allah, sungguh aku merindukan diri-Mu. Merindukan Cinta dari-Mu. Maka jagalah aku dan hatiku agar senantiasa terkunci atas apa yang bukan milikku dan apa yang belum halal untukku. Jadikanlah rasa cintaku sebening air mata pada sosok yang engkau takdirkan untukku, pada seorang pemuda yang engkau cipta untukku. Pertemukanlah kami dalam keadaan halal, dan jagalah hati kami dari gemerlap dunia. Kuatkan iman kami dan istiqomahkan hati kami. Dariku untuk keberadaan yang masih dirahasiakan Allah, Tulang rusuk seorang pemuda yang mencintaiku karena Allah azza wa jalla"

"Sebuah Kisah Cinta yang begitu indah nan syahdu, kisah yang dirindukan oleh tiap muslim dan muslimah yang tertambat hatinya kepada sang Pemilik Cinta"

Figur Ali Bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra

Salah seorang wanita dunia yang memiliki keistimewaan di syurga dan menjadi junjungan seluruh penghuni syurga termasuk bidadari adalah Fatimah Az-Zahra (anak dari Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan Khadijah binti Khuwalid). Fatimalah yang merupakan satu-satunya puteri yang paling dikasihi oleh Rasulullah selepas kewafatan isterinya yang paling dicintai. Fatimah lah wanita terkemuka di dunia dan penghuni syurga di akhirat yang memahami sifat Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Fatimah dalam jodohnya dipilihkan oleh Rasulullah bukanlah memandang harta, tetapi memandang agamanya. Meskipun semua laki-laki yang melamarnya tidaki meragukan agamanya dan kesholehannya,Rasulullah dengan pertimbangan lain justru Ali bin Abi Thalib yang dipilihnya untuk dijadikan suami anak kesayangannya itu.

Bersuamikan Ali bin Abi Thalib bukanlah satu kebanggaan yang menjanjikan kekayaan harta. Karena Ali bin Abi Thalib adalah salah seorang daripada empat sahabat yang sangat rapat dengan Rasulullah merupakan sahabat yang sangat miskin berbanding dengan yang lain (Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khattab dan Ustman bin Affan). Namun jauh di sanubariRasulullah tersimpan perasaan kasih dan sayang yang sangat mendalam terhadap Ali bin Abi Thalib. Rasulullah pernah bersabda kepada Ali bin Abi Thalib,
“Fatimah lebih kucintai daripada engkau, namun dalam pandanganku engkau lebih mulia daripada dia.” (HR Abu Hurairah).

Dengan demikian wanita pilihan untuk lelaki pilihan. Fatimah mewarisi akhlak ibunya Siti Khadijah. Tidak pernah membebani dan menyakiti suami dengan kata-kata atau sikap. Senantiasa senyum menyambut kepulangan suami hingga hilang separuh masalah suaminya. Dengan mas kawin hanya 400 dirham, dia memulakan penghidupan dengan wanita yang sangat dimuliakan Allah di dunia dan di akhirat. Dan ’Ali pun menikahi Fathimah, dengan menggadaikan baju besinya kepada Ustman bin Affan itulah, dan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Rasulullah berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.

Kemudian Rosulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”. Selanjutnya Rasulullah mendoakan keduanya: “Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.” (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4).

Rumah tangga Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra

Dalam suatu kisah menceriterakan tentang keadaan rumah tanggal Ali bin Abi Thalib yang hidup miskin dan serba kekurangan setelah menikah dengan Fatimah binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
“Wahai anakku bersabarlah. Sesungguhnya sebaik-baik wanita adalah yang bermanfaat bagi keluarganya”. Itulah jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Fatimah mengadukan keadaan keluarganya.

Suatu ketika, Rasulullah keluar dari rumah Fatimah dengan tanda-tanda kemarahan di wajahnya. Padahal beliau baru saja sampai di rumah Fatimah. Sikap itu sebagai reaksi beliau atas penampilan anaknya yang mengenakan giwang dan rantai terbuat dari perak, serta selot pintu rumah yang terbuat dari bahan sejenis perak. Karena memahami sifat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Fatimah segera mencopot perhiasan dan selot pintu dan menyerahkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seraya berkata. :
“Jadikanlah semua ini di jalan Allah, ya ayahku”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat terharu, dan bersabda “Sungguh kamu telah melakukannya, wahai anakku. Ketahuilah, dunia ini bukan untuk Muhammad dan keluarganya. Seandainya dunia ini bernilai di sisi Allah sebesar sayap nyamuk, tak akan ada orang kafir diberi minum setetespun”.

Bukannya Ali bin Abi Thalib tidak mau menyediakan seorang pembantu untuk isterinya tetapi memang keadaan kefakiranlah yang sedemikian rupa. Ali bin Abi Thalib pun cukup memaklumi isterinya yang setiap hari menguruskan anak-anak, memasak, membasuh dan menggiling tepung, dan yang lebih memenatkan lagi bila terpaksa mengambil air melalui jalan yang berbatu-batu jauhnya sehingga kelihatan tanda di bahu kiri dan kanannya. Suami mana yang tidak sayang kepada isterinya. Pada suatu ketika bila Ali bin Abi Thalib berada di rumah turut menyinsing lengan membantu istrinya menggiling tepung di dapur. “Terima kasih suamiku,” bisik Fatimah kepada suaminya. Usaha sekecil itu, di celah-celah kesibukan sudah cukup berkesan dalam membelai perasaan seorang isteri.

Curahan Hati Fatimah Az-Zahra

Suatu hari, Rasulullah masuk ke rumah anaknya, didapati puterinya (Fatimah) yang berpakaian kasar itu sedang mengisar biji-biji gandum dalam linangan air mata. Fatimah segera mengesat air matanya tatkala menyedari kehadiran ayahanda kesayangannya itu. Lalu ditanya oleh baginda, “Wahai buah hatiku, apakah yang engkau tangiskan itu? Semoga Allah menggembirakanmu.”. Dalam nada sayu, Fatimah berkata, “Wahai ayahanda, sesungguhnya anakmu ini terlalu penat kerana terpaksa mengisar gandum dan menguruskan segala urusan rumah seorang diri. Wahai ayahanda, kiranya tidak keberatan bolehkah ayahanda meminta suamiku menyediakan seorang pembantu untukku?”. Rosulullah tersenyum seraya bangun mendapatkan kisaran tepung itu. Dengan lafaz Bismillah, Rosulullah meletakkan segenggam gandum ke dalam kisaran itu. Dengan izin Allah, maka berpusinglah kisaran itu dengan sendirinya. Hati Fatimah sangat terhibur dan merasa sangat gembira dengan hadiah istimewa dari ayahandanya itu. Habis semua gandumnya dikisar dan batu kisar itu tidak akan berhenti selagi tidak ada arahan untuk berhenti, sehingga Rasulullah menghentikannya. Bersabdalah Rasulullah dengan kata-kata yang masyhur, “Wahai Fatimah, Gunung Uhud pernah ditawarkan kepadaku untuk menjadi emas, namun ayahanda memilih untuk keluarga kita kesenangan di akhirat.” Jelas, Rasulullah mau mendidik puterinya bahawa kesusahan bukanlah penghalang untuk menjadi solehah.

Ayahanda yang penyayang terus merenung puterinya dengan pandangan kasih sayang, “Puteriku, mahukah engkau kuajarkan sesuatu yang lebih baik daripada apa yang kau pinta itu?”. “Tentu sekali ya Rasulullah,” jawab Siti Fatimah kegirangan. Rasulullah bersabda, “Jibril telah mengajarku beberapa kalimah. Setiap kali selesai sembahyang, hendaklah membaca ‘Subhanallah’ sepuluh kali, Alhamdulillah’ sepuluh kali dan ‘Allahu Akbar’ sepuluh kali. Kemudian ketika hendak tidur baca ‘Subhanallah’, ‘Alhamdulillah’ dan ‘Allahu Akbar’ ini sebanyak tiga puluh tiga kali.”

Ternyata amalan itu telah memberi kesan kepada Siti Fatimah. Semua pekerjaan rumah tangga dapat dilaksanakan dengan mudah dan sempurna meskipun tanpa pembantu rumah. Itulah hadiah istimewa dari Allah buat hamba-hamba yang hatinya sentiasa mengingatiNya.

Penggiling Syair, Fatimah dan Rasulullah SAW

Suatu hari masuklah Rasulullah menemui anandanya Fathimah Az-Zahra radhiallahu ‘anhadidapati anandanya sedang menggiling syair (sejenis padi-padian) dengan menggunakan sebuah penggilingan tangan dari batu sambil menangis. Rasulullah bertanya kepada anandanya, “Apa yang menyebabkan engkau menangis wahai Fathimah?, Semoga Allah tidak menyebabkan matamu menangis”. Fathimah berkata, “Ayahanda, penggilingan dan urusan-urusan rumah tanggalah yang menyebabkan ananda menangis”. Lalu duduklah Rasulullah di sisi anandanya. Fathimah melanjutkan perkataannya, “Ayahanda sudikah kiranya ayahanda meminta ‘Ali (suaminya) mencarikan ananda seorang jariah untuk menolong ananda menggiling gandum dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di rumah”.

Mendengar perkataan anandanya ini maka bangunlah Rasulullah mendekati penggilingan itu. Beliau mengambil syair dengan tangannya yang diberkati lagi mulia dan diletakkannya di dalam penggilingan tangan itu seraya diucapkannya “Bismillaahirrahmaanirrahiim”. Penggilingan tersebut berputar dengan sendirinya dengan izin Allah. Rasulullah meletakkan syair ke dalam penggilingan tangan itu untuk anandanya dengan tangannya sedangkan penggilingan itu berputar dengan sendirinya seraya bertasbih kepada Allah dalam berbagai bahasa sehingga habislah butir-butir syair itu digilingnya.

Rasulullah berkata kepada gilingan tersebut, “Berhentilah berputar dengan izin Allah”, maka penggilingan itu berhenti berputar. Lalu penggilingan itu berkata-kata dengan izin Allah yang berkuasa menjadikan segala sesuatu dapat bertutur kata. Maka katanya dalam bahasa Arab yang fasih, “Ya Rasulullah, demi Allah, Tuhan yang telah menjadikan baginda dengan kebenaran sebagai Nabi dan Rasul-Nya. Kalaulah baginda menyuruh hamba menggiling syair dari Masyriq dan Maghrib pun niscaya hamba gilingkan semuanya. Sesungguhnya hamba telah mendengar dalam kitab Allah suatu ayat yang berbunyi :
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya para malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang dititahkan-Nya kepada mereka dan mereka mengerjakan apa yang dititahkan”. (QS. At-Tahrim 66:6)
Maka hamba takut, ya Rasulullah kelak hamba menjadi batu yang masuk ke dalam neraka. Rasulullah kemudian bersabda kepada batu penggilingan itu, “Bergembiralah karena engkau adalah salah satu dari batu mahligai Fathimah az-Zahra di dalam syurga”. Maka bergembiralah penggilingan batu itu mendengar berita itu kemudian diamlah ia.

Nasehat Rasulullah pada Fatimah

Dengan senyum, Rasulullahkemudian menasehati dan memberikan pesan-pesan kepada Fatimah Az-Zahra, diantaranya :

Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam bersabda kepada anandanya,

“Jika Allah menghendaki wahai Fathimah, niscaya penggilingan itu berputar dengan sendirinya untukmu. Akan tetapi Allah menghendaki dituliskan-Nya untukmu beberapa kebaikan dan dihapuskan oleh Nya beberapa kesalahanmu dan diangkat-Nya untukmu beberapa derajat."

"Ya Fathimah, perempuan mana yang menggiling tepung untuk suaminya dan anak-anaknya, maka Allah menuliskan untuknya dari setiap biji gandum yang digilingnya suatu kebaikan dan mengangkatnya satu derajat."

"Ya Fathimah perempuan mana yang berkeringat ketika ia menggiling gandum untuk suaminya maka Allah menjadikan antara dirinya dan neraka tujuh buah parit."

"Ya Fathimah, perempuan mana yang meminyaki rambut anak-anaknya dan menyisir rambut mereka dan mencuci pakaian mereka maka Allah akan mencatatkan baginya ganjaran pahala orang yang memberi makan kepada seribu orang yang lapar dan memberi pakaian kepada seribu orang yang bertelanjang."

"Ya Fathimah, perempuan mana yang menghalangi hajat tetangga-tetangganya maka Allah akan menghalanginya dari meminum air telaga Kautshar pada hari kiamat."

"Ya Fathimah, yang lebih utama dari itu semua adalah keridhaan suami terhadap istrinya. Jikalau suamimu tidak ridha denganmu tidaklah akan aku do’akan kamu. Tidaklah engkau ketahui wahai Fathimah bahwa ridha suami itu daripada Allah dan kemarahannya itu dari kemarahan Allah?."

"Ya Fathimah, apabil seseorang perempuan mengandung janin dalam rahimnya maka beristighfarlah para malaikat untuknya dan Allah akan mencatatkan baginya tiap-tiap hari seribu kebaikan dan menghapuskan darinya seribu kejahatan. Apabila ia mulai sakit hendak melahirkan maka Allah mencatatkan untuknya pahala orang-orang yang berjihad pada jalan Allah yakni berperang sabil. Apabila ia melahirkan anak maka keluarlah ia dari dosa-dosanya seperti keadaannya pada hari ibunya melahirkannya dan apabila ia meninggal tiadalah ia meninggalkan dunia ini dalam keadaan berdosa sedikitpun, dan akan didapatinya kuburnya menjadi sebuah taman dari taman-taman sorga, dan Allah akan mengkaruniakannya pahala seribu haji dan seribu umrah serta beristighfarlah untuknya seribu malaikat hingga hari kiamat."

Perempuan mana yang melayani suaminya dalam sehari semalam dengan baik hati dan ikhlas serta niat yang benar maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya semua dan Allah akan memakaikannya sepersalinan pakaian yang hijau dan dicatatkan untuknya dari setiap helai bulu dan rambut yang ada pada tubuhnya seribu kebaikan dan dikaruniakan Allah untuknya seribu pahala haji dan umrah.

"Ya Fathimah, perempuan mana yang tersenyum dihadapan suaminya maka Allah akan memandangnya dengan pandangan rahmat."

"Ya Fathimah perempuan mana yang menghamparkan hamparan atau tempat untuk berbaring atau menata rumah untuk suaminya dengan baik hati maka berserulah untuknya penyeru dari langit (malaikat), “Teruskanlah amalmu maka Allah telah mengampunimu akan sesuatu yang telah lalu dari dosamu dan sesuatu yang akan datang”."

"Ya Fathimah, perempuan mana yang meminyakkan rambut suaminya dan janggutnya dan memotongkan kumisnya serta menggunting kukunya maka Allah akan memberinya minuman dari sungai-sungai sorga dan Allah akan meringankan sakarotulmaut-nya, dan akan didapatinya kuburnya menjadi sebuah taman dari taman-taman syurga seta Allah akan menyelamatkannya dari api neraka dan selamatlah ia melintas di atas titian Shirat”. (Syarah ‘Uquudil lijjaiin-Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani)."


Awal mula Cinta Ali Bin Abi Thalib kepada Fatimah

Sekarang apa rahasia Ali bin Abi Thalib mencintaiFathimah? Fathimah adalah teman karib semenjak kecil, puteri tersayang Rasulullah, sedangkan Ali bin Abi Thalibadalah sepupu Rasulullahyang mempesona, baik kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya maupun kecerdasannya. Ali bin Abi Thalib sejak Fatimah masih kanak-kanak sudah memperhatikan sifat dan tingkah lakunya, yaitu pada suatu hari ketika ayahnya (Rasulullah) pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan dengan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah (sang ayah yang Tepercaya) tidak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik (Fatimah) itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah, di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Ali bin Abi Thalib tak tahu apakah rasa itu (selalu memperhatikan sifat dan tingkah laku Fatimah) disebut cinta?. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan bahwa Fathimah dilamar oleh seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.

”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin Ali bin Abi Thalib. Ia merasa diuji karena merasa, apalah ia dibanding dengan Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti Ali bin Abi Thalib, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan Rasul-Nya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara Ali bin Abi Thalib bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.

Lihatlah juga bagaimana Abu Bakar berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab. Sedangkan aku (Ali bin Abi Thalib) semasa kanak-kanak kurang pergaulan. Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud. Siapa budak yang dibebaskan Ali bin Abi Thalib? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah. Ali bin Abi Thalib hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.

Kegundahan Ali bin Abi Thalib

”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam Ali bin Abi Thalib. ”Aku mengutamakanAbu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”. Cinta tak pernah meminta untuk menanti, tapi mengambil kesempatan atau mempersilakannya. Dan cinta itu membutuhkan keberanian atau pengorbanan.

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah SWT menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu Bakar ditolak, dan Ali bin Abi Thalib terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri menyambut Fathimah. Tapi, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakar mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut, yaitu Umar bin Khaththab.

Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah.Umar bin Khaththab memang masuk Islam belakangan, sekitar tiga tahun setelah Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya Umar bin Khaththab dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, Ali bin Abi Thalib mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakar dan Umar bin Khaththab, aku keluar bersama Abu Bakar dan Umar bin Khaththab, aku masuk bersama Abu Bakar danUmar bin Khaththab..”. Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasulullah, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana Umar bin Khaththabmelakukannya?. Ali bin Abi Thalib menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam, maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.

Umar bin Khaththab telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’. Umar bin Khaththab adalah lelaki pemberani, sedangkan aku (Ali bin Abi Thalib), sekali lagi sadar. Bila dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah, apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. Umar bin Khaththab jauh lebih layak, dan Ali bin Abi Thalib pun ridha.

Keteguhan Hati Ali

Sekali lagi cinta tak pernah meminta untuk menanti. tapi mengambil kesempatan atau mempersilakannya. Dan cinta itu membutuhkan keberanian atau pengorbanan. Maka Ali bin Abi Thalib pun bingung ketika mendengar kabar lamaran kedua oleh sahabat Rasulullah yaitu Umar bin Khatthab juga ditolak.

Ingin menantu macam apa kiranya yang dikehendakiRasulullah? Yang seperti ’Utsman bin Affan, sang miliyader yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri Ali bin Abi Thalib. Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?.

”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunannya. "Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Rosulullah.. ”. ”Aku?”, tanyanya tak yakin. ”Ya. Engkau wahai saudaraku!” Ali bin Abi Thalib pun menjawab ”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?” ”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”

Pelamaran Fatimah Az-Zahra

Ali bin Abi Thalib pun menghadapRasulullah, maka dengan memberanikan diri untuk menyampaikan keinginannya menikahi Fathimah. Ya, menikahi, dengan sadar secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah SWT Maha Kaya.

Lamarannya terjawab, ”Ahlan wa sahlan!” . Kata itu meluncur tenang bersama senyumRasulullah. Dan Ali bin Abi Thalib pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.

”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?” ujar sahabat Ali bin Abi Thalib ”Entahlah..” jawabnya ”Apa maksudmu?” Tanya sahabatnya kembali ”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban ?” tanya Ali kepada sahabatnya ”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka. ”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !” penjelasan kawannya pun mengurai senyum di wajah Ali bin Abi Thalib
 
Saat yang dinanti-nantikan telah tiba ’ Ali bin Abi Thalibpun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Rasulullahberkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang. Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.

Ali bin Abi Thalib adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” . Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’ Ali bin Abi Thalib. Ia mempersilakan, atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan, dan yang kedua adalah keberanian. Ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi (Fathimah) dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda ”. Ali bin Abi Thalib terkejut dan berkata, “Kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”. Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah dirimu”.

Kemudian Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”. Selanjutnya, Rasulullah mendoakan keduanya: “Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.” (Kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2 : 183, Bab 4).

Semoga cerita ini dapat memberikan inspirasi :)

Filsafat

Rene Descartes
“Cogito Ergo Sum”
“Aku berfikir, maka aku ada”

            Kalimat yang dikemukakan oleh Descartes itu selalu dimuat dalam buku pengantar filsafat khususnya yang membahas mazhab rasinalisme dan senantiasa nyaris tanpa ada koreksi benar salahnya sama sekali, dan kemudian menjadi semacam “mantra sakti” yang membius banyak orang sehingga selalu takjub tanpa bisa bersikap kritis kepada apa yang datang dari dunia filsafat.
            Sebagian orang menganggap prinsip Descartes “aku berfir maka aku ada” itu sebagai semacam pijakan atau parameter untuk memahami konsep rasionalisme serta pengertian “rasionalitas” yang berbahaya kemudian adalah bila orang mengaitkan sesuatu harus masuk akal (yang rasional) dengan kekuatan kesadaran manusia sehingga yang diluar kekuatan kesadaran manusia menangkap (dan memikirkannya) akan dianggap “tidak masuk akal”, masalahnya kemudian adalah kekuatan kesadaran berfikir manusia itu (tanpa bimbingan agama) seringkali menjadi sangat bergantung pada pengalaman dunia inderawinya sehingga yang tidak masuk pengalaman dunia inderawinya seringkali tidak masuk dalam kesadaran berfikirnya sehingga ujungnya lahir prinsip “yang masuk akal adalah yang dunia indera bisa menangkapnya”.
            Contoh analogi dari pernyataan tersebut: dimasa silam sebelum manusia menemukan teropong yang bisa meneropong alam semesta saat itu manusia belum mengetahui bahwa ada banyak planet yang berada diseputar planet bumi yang juga mengelilingi matahari, artinya keberadaan planet-planet saat itu belum masuk kedalam kesadaran berfikir manusia, dan telah diketahui ada keberadaannya setelah difikirkan dan menyadari keberadaannya.
            Itulah sebabnya dalam melihat problem “realitas” manusia harus belajar melihat dari kacamata sudut pandang atau dari dimensi lain jangan melihatnya hanya dari kacamata sudut pandang kesadaran manusia sebab manusia bukan pencipta realitas tapi penangkap sebagian realitas (itupun sangat terbatas) artinya kita harus belajar melihat realitas dari sudut pandang penciptaannya, Tuhan yang menciptakan realitas, dan kemudian belajar menyadari dan menempatkan diri sebagai penangkap sebagian kecil realitas dengan cara demikian manusia tidak mudah memvonis apapun yang datang dari agama sebagai “hanya dogma” tanpa mengaitkannya dengan ilmu tentang realitas itu.[1]
            Disamping itu kalimat ini membuktikan bahwa satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan seseorang sendiri, keberadaan ini bisa dibuktikan dengan fakta bahwa ia bisa berfikir sendiri.
            Jika dijelaskan kalimat “cogito ergo sum” berarti sebagai berikut Descartes ingin mencari kebenaran, dengan pertama-tama meragukan semua hal ia meragukan keberadaan benda-benda di sekilingnya ia bahkan meragukan keberadaan dirinya sendiri.
            Descartes berpikir bahwa dengan cara meragukan semua hal termasuk dirinya sendiri tersebut, dia telah membersihkan dirinya dari segala prasangka yang mungkin menuntunnya ke jalan yang salah, ia takut bahwa mungkin saja berfikir sebenarnya tidak membawanya menuju kebenaran. Mungkin saja bahwa pikiran manusia pada hakikatnya tidak membawa manusia kepada kebenaran, namun sebaliknya memebawanya kepada kesalahan. Artinya ada semacam kekuatan tertentu yang lebih besar dari dirinya yang mengontrol pikirannya dan selalu mengarahkan pikirannya ke jalan yang salah.
            Sampai disini Descartes tiba-tiba sadar bahwa bagaimanapun pikiran mengarahkan dirinya kepada kesalahan, namun ia tetaplah berfikir. Inilah satu-satunya yang tidak mungkin salah, maksudnya, tak mungkin kekuatan tadi membuat kalimat “ketika berfikir, sayalah yang berfikir” salah. Dengan demikian Descartes sampai pada kesimpulan bahwa ketika ia berfikir maka ia ada.[2]
            Rene Descartes percaya bahwa alam semesta adalah suatu struktur matematika. Dengan alasan bahwa jika itu adalah benar maka struktur alam semesta dapat dipahami oleh studi matematika. Dengan mengikuti ke Descartes bahwa jika ia bisa kesampingkan keraguan apapun dipikirannya, maka itu harus benar. Dari dasar pemikiran ini muncul pernyataannya yang paling terkenal: “cogito ergo sum/aku berfikir oleh aku ada”.
            Descartes mengatakan bahwa postulat “Aku berfikir maka aku ada” adalah sedemikian kukuh dan niscaya sehingga kaum Skeptis tidak lagi dapat menggoyahkan. Postulat “Aku berfikir (cogito) atau Aku ragu (dubito) yakni apabila seseorang meragukan segala sesuatu ia tetap tidak akan pernah meragukan keberadaan dirinya sendiri.
            Mengingat keraguan tidak bermakna tanpa peragu, maka keberadaan manusia peragu dan pemikir adalah sesuatu yang tidak bisa diragukan. Kebenaran tentang aku yang merugikan ini bagi Descartes merupakan kepastian.[3]

Metode Kesangsian dan “Cogito ergo Sum”
            Descartes dipandang sebagai Bapak filsafat Modern. Julukan ini tidak berlebihan sebab sejak Descartes kesadaran betul-betul digumuli dalam filsafat.Disamping itu, Descartes juga berusaha memberi pendasaran metodis dalam filsafat. Dengan metode, Descartes memahaminya sebagai aturan-aturan yang dipakai untuk menemukan fundamentum certum et inconcussum veritatis (kepastian dasariah dan kebenaran yang kokoh). Metode itu disebutnya “le doute methodique” (metode kesangsian). Jadi berfilsafat bagi Descartes berarti melontarkan persoalan metafisis untuk menemukan fundamen yang pasti, yaitu suatu titik yang tidak bisa goyah seperti aksioma matematika.
            Untuk menemukan titik kepastian itu Descartes mulai dengan sebuah kesangsian atas segala sesuatu. Umpamanya dia mulai dengan menyangsikan apakah asas-asas matematika dan pandangan-pandangan metafisis yang berlaku tentang dunia material dan dunia rohani itu bukan tipuan belaka dari semacam iblis yang sangat cerdik. Misalkan saja, kita benar-benar tertipuhabis-habisan sehingga kita betul-betul dipermainkan oleh khayalan-khayalan, lalu apakah yang bisa kita jadikan pegangan? Menurut Descartes sekurang-kurangnya “aku yang menyangsikan” bukanlah hasil tipuan. Semakin kita dapat menyangsikan segala sesuatu, entah kita sungguh ditipu atau ternyata tidak, termasuk menyangsikan bahwa kita tak dapat menyangsikan, kita semakin mengada (exist). Justru kesangsianlah yang membuktikan kepada diri kita bahwa kita ini nyata. Selama kita sangsi, kita akan merasa makin pasti bahwa kita nyata-nyata ada. Jadi meskipun dalam tipuan yang lihai, kepastian bahwa “aku yang menyangsikan” itu tidak bisa dibantah, juga seandainya Allah itu seorang penipu sekalipun. Menyangsikan adalah berfikir, maka kesangsian akan eksistensiku dicapai dengan berfikir. Descartes kemudian mengatakan Je pense donc je suis atau cogito ergo sum (aku berfikir, maka aku ada).
            Yang ditemukan dengan metode kesangsian adalah kebenaran dan kepastian yang kokoh, yaitu “cogito” atau kesadaran-diri. Cogito itu kebenaran dan kepastian yang tak tergoyahkan karena dimengerti secara jelas dan terpilah-pilah (claire et distincte).
Cogito ini tidak ditemukan dengan dedukasi dari prinsip-prinsip umum atau dengan intuisi. Kedua metode tradisional ini bisa dipakai untuk membenarkan wahyu, padahal yang disebut wahyu itu bisa disangsikan dan filsafat tidak mengizinkan ketidakpastian. Cogito ditemukan lewat pikiran, sesuatu yang dikenalii lewat dirinya sendiri, tidak melalui Kitab Suci, Dongeng, pendapat orang, prasangka, dan seterusnya. Kesangsian Descartes ini sedemikian radikal, tetapi kesangsian ini hanya sebuah metode untuk menemukan dasar yang kokoh untuk kenyataan. Disini, kendatipun metode yang ditemukan baru, dia sebetulnyya tetap memiliki minat metafisika. Kesangsiannya bersifat metodis, maka bukanlah sebuah skeptisisme seperti yang kita jumpai dalam pikiran Hume nanti.[4]






Profil
Rene Descartes

               Rene Descartes lahir di Perancis pada tanggal  31 Maret 1596  dan meninggal di StockholmSwedia11 Februari 1650 pada umur 53 tahun), juga dikenal sebagai Renatus. Rene Descartes sering disebut sebagai bapak filsafat modern. Rene Descartes lahir di La Haye Touraine-Prancis dari sebuah keluarga borjuis. Ayah Descartes adalah ketua Parlemen Inggris dan memiliki tanah yang cukup luas (borjuis). Ketika ayah Descartes meninggal dan menerima warisan ayahnya, ia menjual tanah warisan itu, dan menginvestasikan uangnya dengan pendapatan enam atau tujuh ribu franc per tahun. Dia bersekolah di Universitas Jesuit di La Fleche dari tahun 1604-1612, yang tampaknya telah memberikan dasar-dasar matematika modern. Pada tahun 1612, dia pergi ke Paris, namun kehidupan sosial di sana dia anggap membosankan, dan kemudian dia mengasingkan diri ke daerah terpencil di Prancis untuk menekuni Geometri, nama daerah terpencil itu Faubourg. Teman-temannya menemukan dia di tempat perasingan yang ia tinggali, maka untuk lebih menyembunyikan diri, ia memutuskan untuk mendaftarkan diri menjadi tentara Belanda (1617). Ketika Belanda dalam keadaan damai, dia tampak menikmati meditasinya tanpa gangguan selama dua tahun. Tetapi, meletusnya Perang Tiga Puluh Tahun mendorongnya untuk mendaftarkan diri sebagai tentara Bavaria (1619). Di Bavaria inilah selama musim dingin 1619-1690, dia mendapatkan pengalaman yang dituangkannya ke dalam buku Discours de la Methode (Russel, 2007:733). Descartes, kadang dipanggil "Penemu Filsafat Modern" dan "Bapak Matematika Modern", adalah salah satu pemikir paling penting dan berpengaruh dalam sejarah barat modern. Dia menginspirasi generasi filsuf kontemporer dan setelahnya, membawa mereka untuk membentuk apa yang sekarang kita kenal sebagai rasionalisme kontinental, sebuah posisi filosofikal pada Eropa abad ke-17 dan 18.
                  Pemikirannya membuat sebuah revolusi falsafi di Eropa karena pendapatnya yang revolusioner bahwa semuanya tidak ada yang pasti, kecuali kenyataan bahwa seseorang bisa berpikir.[5]

















DAFTAR PUSTAKA

Hardiman,Budi F, “Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern” Jakarta:Erlangga
Akses Internet:
Telagahikmah.org




[1] http://filsafat.kompasiana.com diakses pada hari kamis, 3 Oktober 2013 pukul 16.49 WIB
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Cogito_ergo_sum diakses melalui internet pada hari kamis, 3 Oktober 2013 pukul 17.01 WIB
[3] Telagahikmah.org diakses melalui internet pada hari kamis, 3 Oktober 2013 pukul 20.12 WIB
[4] Hardiman,Budi F, “Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern” Jakarta:Erlangga, hall:34
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/RenDescartes diakses melalui internet pada hari Kamis, 3 Oktober 2013 pukul 20.30 WIB

Journey Of Life

           Cerpen

 Malang, 26 Agustus 2013

Tiiiiiiiiiiiiiiiiiinnnn..
“Arjosari arjosasi silahkan turun sudah sampai di kota Malang”.
Pekikan suara itu akhirnya terdengar juga setelah perjalanan dua puluh tiga jam lebih aku duduk diatas bangku bis traivel. “Aaahhh… Alhamdulillah akhirnya sampai juga”.
Aku mulai melangkahkan kaki ku menuju sebuah angkutan umum bertuliskan “AL”. Info ini aku dapatkan dari abangku. Oh iya, namaku Siti Khumaeroh, teman-teman biasa memanggilku Mae atau may atau maya atau apalah itu hehehe…
Aku berasal dari kota Serang Banten, dan pilihanku jatuh di Universitas Brawijaya karena selain pengen ikut abangku yang kuliah disini juga karena sudah menjadi cita-citaku dulu buat bisa belajar Psikologi di Universitas bergengsi ini. Meskipun Psikologi disini masih ikut di Fakultas FISIP, it’s no problemo J
Mmm.. itu pengenalan dikit ya..
“Kiri pak depan UIN!”. Dengan perasaan bahagia aku turun dari mobil angkutan umum dan bergegas menuju kontrakan yang telah dipesan sebelumnya.
Sesampainya disana ternyata akulah penghuni pertama yang datang pertama di kontrakan tersebut. Aku sedikit sedih karena kontrakan besar dengan empat lantai yang masih kosong dan baru berpenghuni aku sendiri. Kondisi tubuhku lemah, malah bisa dikatakan masuk angin karena aku beberapa kali muntah-muntah selepas perjalanan jauh tadi.

Cerita parno…
Ketika aku merebahkan badanku diatas kasur, aku merasa jenuh dan mulai mendengarkan murotal dari type radio. Beberapa saat kemudian, terdengar suara gesekan sapu lidi seperti orang yang sedang menyapu didepan kamarku. Aku kaget, dan langsung mematikan radio. Radio nya mati tapi suara itu masih terdengar, dan berhenti seketika. Aku menyalakan radio kembali dan suara tersebut muncul lagi dan itu terus berulang-ulang. “Aaaaahhh apa ini! Aku tak berani membuka pintu!” Seru ku dalam hati. Aku merasa tak nyaman dan akhirnya aku menghubungi rekan ku yang juga sudah berada di Malang. Aku memanggilnya mba karena rekanku itu sebenarnya maba tahun kemarin yang harus mengulang tahun ini karena sebelumnya terhenti sakit. Keputusan yang aku ambil, akhirnya aku tidur semalam di kontrakan rekanku. Aku meminta rekanku menjemputku.
“Mba aku takut, tadi ada suara gesekan sapu lidi”. “Oalah may, kamu berani banget disana sendiri, wong aku aja gak berani disini sendiri apalagi dikontrakan besar itu”. “Yaah aku gak tau mba, ditambah tadi aku mual banget cape perjalanan jauh”. Keluhku.
Aku tidur di kontrakan rekanku tapi aku tidak hafal lokasinya, maklum karena aku anak baru disini. Keesokan harinya rekanku harus pulang ke kampung halamannya karena esoknya ada pemilihan Gubernur Jawa Timur, terpaksa aku harus pulang lagi ke kontrakan itu.
“Mba emang harus pulang ya?”.”Iya may, sayang banget kalo gak ngasih suara, maaf ya gak bisa nemenin kamu, semoga cepet datang ya mba penghuni lama nya, kan barang-barangnya masih ada disana”. Sambut rekanku. Alhasil aku diantarkan pulang ke kontrakanku itu. Sedihnya, kaka ku yang juga kuliah disini sedang pergi ke Padang untuk menghadiri suatu acara, jadi aku sulit meminta tolong. Sebenarnya dikontrakan rekanku ada seorang mba yang nawarin biar aku tidur disana lagi malem ini, tapi aku malu karena aku belum kenal akrab dengan mereka, aku malah ambil keputusan untuk pulang ke kontrakanku saja. Sialnya, ketika sampai dikontrakan masih ada perasaan parno. Aku jadi menyesal tidak mengikuti tawaran mba tadi, aku gak hafal jalan kesana! “Disini banyak sekali gang-gang, rt-rt, sampai beda kelurahan ada di satu tempat, beda banget sama di Serang!” keluh ku lagi.
            Singkat cerita, keesokan hari nya akhirnya mba-mba penghuni lama dan maba-maba yang menyewa kontrakan itu mulai berdatangan, rasa sepiku kini terobati, yaa..akulah si penghuni pertama penghuni baru kontrakan itu.
Hari Ospek tiba..
           Aku bangun jam 3 pagi, salat malam dan menunggu waktu subuh. Mataku terperanjat pada sebuah catatan kecil yang aku tulis dan ku tempel di dinding “Impianmu yang pertama telah terwujud, apa kau tak mau impian mu selanjutnya terwujud?”
Aku berharap dalam do’aku semoga aku bisa menjadi mahasiswa yang baik dan lulus dengan predikat dan pengalaman yang baik pula, amiin.
           Jam telah menunjukkan pukul setengah enam, aku dan teman-temanku bergegas menuju sebuah mobil angkut yang lagi-lagi bertuliskan “AL”. Sebenarnya jarak kampus dengan kontrakanku sangat dekat, tapi hari pertama ospek gerbang Fapet yang biasa aku lewati harus ditutup, semua nya wajib lewat gerbang veteran. Sampai disana, terlihat ribuan mahasiswa berumunan dan berdiri tegap dilapangan. Upacara pun dimulai. Ada satu hal yang aku lupakan dalam hal ini, aku lupa membawa sandal jepit! Astaga, aku merasa takut dalam hati. Akhirnya tibalah setelah upacara, kami disuruh melepas sepatu untuk menggantinya dengan sandal jepit, aku terpaksa harus menghindar dan menutup diri, takut dengan kaka panitia.
Setelah ospek universitas selesai, dilanjutkan dengan ospek fakultas dan jurusan. Selama ospek berlangsung, kami mahasiswa baru wajib menggunakan jaket selama kuliah. Kewajiban ini kurang kami senangi, tapi harus bagaimana lagi karena itu sudah syaratnya dan kami lakukan kewajiban itu meskipun ada diantara kami yang tidak mengikuti perintah. Selama ospek begitu banyak sekali pengalaman yang didapatkan, mulai dari bentakan, pujian, tugas-tugas, dan lainnya yang akhirnya sangat berkesan dan menginspirasi.
Di kampus..
Pagi yang cerah, mengiringi langkah ku dengan memikul sebuah tas ransel mini dan mencari sebuah kelas yang aku dapatkan dari sebuah informasi, yaah.. akulah mahasiswa baru! Mencari sebuah bangku besi bertahta meja. Aku terperanga tatkala masih mencari dimana sebenarnya kelas yang aku dapatkan kini, sedangkan suasana riuh riang nya berbeda seratus delapan puluh derajat dengan suasana saat dulu aku duduk dibangku SMA. Semua terlihat sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, yang dihadapannya sebuah laptop dengan iringan earphone ditelinganya, bahkan tak menghiraukan hiruk pikuk sekitar, benar-benar berbeda.
Aku masih mencari dimana kelas ku, tak seperti di SMA ku dulu yang sudah tertata rapih dan teratur nya sebuah kelas, gak harus repot-repot buat pindah-pindah kelas, jika telah mempunyai kelas itu ya sudah, bangkunya pun tetap, siapa yang duduk ditempat pertama kali diduduki maka dialah yang terus menjadi empu bangku itu sampai naik kelas.
Langkah ku terhenti di sebuah gedung bernama “Gedung Kuliah Bersama”. Ternyata aku punya kelas ditempat ini. Di kelas ini sangat berbeda dengan gedung Fisip, tidak ada AC dan bangunan nya masih kuno, maklumlah karena ini tempat bersama dan bukan milik fakultas manapun. Fisip harus meminjam gedung ini karena gedung B yang masih dalam proses pembangunan juga karena mahasiswa nya yang banyak.
Perjalanan ku begitu mengesankan, banyak pengalaman dan suka duka yang aku dapatkan selama menjadi mahasiwa baru, mulai dari ikut aktif dalam organisasi Eksekutif Mahasiswa, punya teman-teman yang beda-beda karakter, dosen yang berbeda-beda karakter, sampai ajakan untuk ikut aliran sana-sini.”Yang ini aku sedikit takut”. Sebenarnya aku telah lama mengetahui kalau di Universitas itu banyak sekali aliran-aliran, mulai dari benar sampai sesat sekalipun, dan kini aku mulai merasakan bagaimana berhadapan dengan orang-orang yang gemar mengincar pengikut barunya. Aku pernah diajak seorang mba untuk ikut dalam sebuah forum, sebelum aku terima tawaran itu, aku bertanya dulu kepada mba kerabat dekatku. Alhamdulillah aku bisa berfikir lebih jauh, tidak terpengaruh dengan hal yang masih mengganjal dan bisa memilih mana yang terbaik.
Kehidupan mahasiswa berbeda dengan siswa, sekarang aku tau bagaimana susahnya hidup sendiri tanpa orang tua. Eh untungnya disini aku ada kaka laki-laki. Ya seorang kaka yang amat perhatian hingga setiap minggu nya memberiku uang. Meskipun masih kuliah, kaka ku telah memiliki pekerjaan sebagai Spv. Beastudi. Sekarang beliau semester 9 karena menjadi anggota DPM UB. Kaka ku yang baik sekali.
Begitulah pengalaman yang aku dapatkan sampai sekarang ini. Aku tetap menikmati hari-hari ku dengan ceria dan ikhlas karena aku yakin dibalik usaha itu akan membuah kan hasil dan setiap cobaan pasti ada hikmahnya. Cita-citaku menjadi seorang Psikolog masih bertahta indah dibenakku. J



Created By: Siti Khumaeroh