Halaman

Selasa, 12 November 2013

Dinamika Pendidikan Di Indonesia


            Dunia erat kaitannya dengan pendidikan. Tanpa pendidikan, dunia terasa hampa dijalankan. Pendidikan memang tidak hanya bisa didapatkan di sekolah maupun perkuliahan. Pendidikan juga bisa didapatkan di dalam kehidupan nyata. Meskipun demikian, pendidikan bukan hanya gelat teori dan materi, akan tetapi harus memiliki pondasi dan praktisi.
            Menurut Driyarkara pendidikan didefinisikan sebagai upaya memanusiakan manusia muda atau pengangkatan manusia muda ke taraf insani[1]. Menurut Stella van Petten Henderson Pendidikan merupakan kombinasi dari pertumbuhan dan perkembangan insani dengan warisan sosial. Kohnstamn dan Gunning (1995): Pendidikan adalah pembentukan hati nurani. Pendidikan adalah proses pembentukan diri dan penentuan diri secara etis, sesuai dengan hati nurani[2]
Paradigma pendidikan kian bergulir dengan banyaknya perubahan-perubahan yang terjadi seiring majunya zaman globalisasi. Bebasnya hambatan laju interaksi antar berbagai Negara menjadikan Indonesia menjadi salah satu Negara yang banyak mengekspos produk dan teori dari Negara lain seperti pendidikan dan teknologi. Memang tak ada yang salah dengan hal tersebut, karena dapat membuka pikiran kian berkembang dengan idea-idea yang bisa didapatkan. Namun dimana ada dampak positif, disitulah nampak pula dampak negatif.
Di era globalisasi ini teknologi menjadi hal yang paling berpengaruh bagi kehidupan. Dengan teknologi hal-hal yang awalnya sulit menjadi lebih mudah. Teknologi memang sangat berperan penting dan berdampak positif apabila disesuaikan pada tempatnya. Disamping sisi positif nya, tentunya teknologi juga memiliki dampak negatif yang tidak kalah lebih berpengaruhnya bagi kehidupan. Dahulu anak-anak kecil lebih senang menghabiskan hari-harinya dengan bermain, belajar, dan mengaji. Permainan tradisional menjadi hal yang terbiasa mereka lakukan. Akan tetapi hal tersebut jarang ditemukan di era modern ini.
Mereka lebih banyak menghabiskan waktu nya untuk bermain games online, entah hanya berdiam diri di rumah ataupun rela melangkahkan kaki nya pergi ke warung internet hanya untuk bermain games online tersebut. Mirisnya, bentuk yang ditampakkan dalam permainan online tersebut terkesan kurang mendidik, dimana dari bentuk subjek dan objek nya yang kurang layak di tampilkan membuat sang anak lebih cepat menangkap dan merespon hingga membuat mereka merasa ketagihan untuk tetap terus bermain.
            Kebiasaan tersebut dapat membawa pengaruh negatif dalam kehidupan sehari-hari. Anak lebih cepat menangkap objek yang ada dihadapannya. Dengan bentuk permainan gulat dan adu kekuatan membuat mereka cepat meniru untuk diperagakan nyata. Dari penemuan Albert Bandura yang menemukan Teori Bandura-bobo dolls, dimana respon anak lebih cepat terjadi setelah melihat objek yang ada dihadapannya. Sang anak akan meniru dari apa yang ia lihat. Dan apabila anak diberikan objek negative, bukan tidak mungkin pula sang anak akan merespon dan melakukannya.
          Entah darimana sisi yang salah, namun pada dasarnya pendidikan sejak dini tentulah telah tertanamkan pada diri seseorang. Pendidikan karakter dan religi sejak dini serta peran orang tua sangatlah penting untuk membentuk pola pikir seseorang dalam bertingkah laku di lingkungan sosial. Manfaatnya juga untuk dapat meminimalisir kesalahan pemikiran yang menghantarkan pada perbuatan tak mendidik dan tak bermoral.
           Kembali dalam rona pendidikan, menanamkan keyakinan untuk memperoleh pendidikan bukanlah hal mudah. Banyak nya pemikiran dan perbedaan pendapat menjadi salah satu penyebabnya. Tak semua orang mampu memutar kehidupan dengan sejalan. Ada yang peduli dan tak sedikit pula yang mengabaikan. Cita-cita dan motivasi diri mungkin bisa menjadi pendorong keyakinan dan kesadaran akan dunia pendidikan.
        Kenyataan di Indonesia, pengangguran menjadi kian marak seiring berjalannya waktu dengan kepadatan penduduk yang mencapai 250 juta jiwa dengan pertumbuhan 1.49 persen setiap tahun[3] dan paradigma kehidupannya yang mendorong para remaja cenderung lebih memikirkan bagaimana mereka bisa tetap bertahan dengan gejolak perekonomian terbatas. Hasil riset 10 remaja yang berhasil dilansir mengemukakan alasan terkuat mereka tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi karena faktor ekonomi[4]. Mereka awalnya berfikir bahwa pendidikan sangatlah penting karena bisa menunjang kehidupan di masa depan. Akan tetapi pernyataan tersebut lepas menjadi ambigu seiring perjalanan pendidikan yang tentunya memerlukan biaya. Mereka berfikir bahawa mencari pekerjaan lebih cepat menghasilkan uang daripada harus menunggu sampai batas pendidikan tertinggi. “Kuliah membuang uang, bekerja mendapatkan uang”. Kemandegan pola pikir yang demikian menjadikan citra pendidikan dianggap sebuah hal sepele.
            Belum lagi banyak nya pengangguran-pengangguran para sarjana di Indonesia hingga mencapai 5.5-5.8 persen atau 7,17 juta orang dari total angkatan kerja yang mencapai 121,2 juta orang[5]. Adanya kenyataan ini menimbulkan rasa pesimistik dan berfikir bahwa pendidikan bukanlah akhir dari segalanya. “Banyak orang berpendidikan tinggi namun belum bisa mendapatkan nikmatnya kesuksesan”. Jika kita berfikir pendidikan merupakan penunjang kesuksesan, maka sampai kapanpun kita menduga pendidikan itu dasar pokok kesuksesan. Akan tetapi jika kita berfikir pendidikan merupakan sarana penunjang kehidupan mungkin itu bisa lebih baik, dimana pendidikan bukan dijadikan alasan utama seseorang untuk mendapat materi namun untuk menuai kehidupan lebih baik.
       Sebenarnya bukan hal sulit bagi seseorang untuk bisa mendapatkan pendidikan. Untuk dapat melanjutkan pendidikan ternyata mudah didapatkan dengan potensi yang dimiliki. Saat ini banyak peluang-peluang masuk sekolah dan perguruan tinggi dengan modal potensi yang dimiliki. Adapun jika belum sesuai dengan potensi yang dimiliki diri, tak urung membuat lemah untuk terus bangkit meraih masa depan gemilang. Berfikir positif, memiliki tujuan dan cita-cita nyata, juga menjadi seseorang yang mampu berfikir hidup tidak hanya untuk sebuah tumpangan namun menjadi sebuah petualangan. Seperti kisahnya Khoirul Anwar, seorang Professor berprestasi dari keluarga tidak mampu dalam segi materil namun mampu mengangkat dunia pendidikan dalam kehidupannya. “Man jadda wa jada”. Tidak ada yang tidak mungkin jika kita terus berusaha dan berdo’a.



[1] Driyarkara, Drikaya Tentang Pendidikan, Yayasan Kanisius, Yogyakarta 1950, hal.74
[2] http://definisi-pendidikan-menurut-para-ahli.html (akses hari Sabtu, 02 November 2013)
[3] http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/ (akses hari sabtu, 02 November 2013)
[4] Riset 10 orang remaja di kampung Kebaharan Serang-Banten
[5] http://www.jpnn.com/2013/08/28/Jumlah-Pengangguran (akses hari sabtu, 02 November 2013)Dinamika Pendidikan di IndonesiaDinamika Pendidikan di Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar