Halaman

Minggu, 11 Agustus 2013

Pandangan Islam Terhadap Suara Wanita



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
Islam merupakan agama yang dibawa Rasulullah SAW. dengan sebuah agama yang sempurna, murni, harmoni, dan begitu luhur akan keestetikaan budaya dan syari’at. Digambarkan dengan kepribadian Rasulullah SAW. yang memiliki akhlak yang mulia, bersifat sederhana dan suka melakukan kebaikan dengan sesama makhluk. Ciri Rasulullah ini telah memberi keamanan dan rahmat bagi seluruh alam. Sebagaimana firman Allah SWT. dalam surat Al-Anbiya ayat 107 yang berbunyi;
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Artinya: “Dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam”. (Al-Anbiya : 107)
Ayat tersebut menganalogikan bahwa nabi Muhammad merupakan sesorang yang diharapkan dimuka bumi dan merupakan rahmat bagi seluruh alam. Kemudian dalil tersebut diperkuat kembali dalam surat At-Taubah ayat 33 yang berbunyi;
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَىٰ وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
Artinya: “Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunujuk Al-Qur’an dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukainya”. (At-Taubah : 33)
          Islam sangat memuliakan wanita, memberi hak, dan memelihara wanita sebagai manusia, anak perempuan, sebagai istri, ibu, maupun sebagai anggota masyarakat. Hal tersebut tidak lain  ditujukan agar martabat wanita tetap utuh.


          Di samping itu, Islam begitu memuliakan wanita sebagai manusia yang diberi taklif (tugas) dan tanggung jawab yang utuh seperti halnya laki-laki yang kelak akan mendapatkan pahala atau siksaan sebagai balasan. Tugas yang mulia diberikan Allah kepada manusia bukan khusus laki-laki saja, melainkan juga untuk wanita.
          Allah SWT. memberikan keistimewaan khusus bagi wanita. Keistimewaan yang dimiliki diantaranya wanita memiliki suara yang identik lebih lembut dibandingkan kaum laki-laki. Karena kelembutannya, sebagian umat muslim mendoktrin bahwa suara wanita dirisaukan sebagai aurat. Hal tersebut lantaran suara yang ditimbulkan terkadang mendesah, mendesis, atau bahkan meraung merayu hingga mengakibatkan pikiran kaum laki-laki sentak pecah terpicu syahwat.
Saat ini banyak penyanyi-penyanyi yang didominasi oleh para wanita. Bukan hal baru jika seorang wanita bernyanyi di hadapan khalayak ramai meskipun lagu yang dibawakan bersifat Islami maupun bukan Islami. Berikutnya bukan hanya kaum laki-laki yang bisa menjadi qori, kaum wanita pun bisa menjadi qori’ah. Bahkan kondisi tersebut lantas dituangkan dalam wadah MTQ antar sekolah, daerah, hingga tingkat nasional yang tentunya dapat disimak dan disaksikan kaum laki-laki.
Disisi yang sama, adapula kontes-kontes nyanyian maupun qosidahan yang juga dapat dilihat kaum laki-laki. Terlebih lagi di era globalisasi ini begitu banyak grup-grup vokal wanita yang memperlihatkan keindahan suara dan berlenggak-lenggok menari di hadapan khalayak ramai, atau hal tersebut lebih dikenal dengan sebutan girl band yang lagi-lagi tidak lepas dari pandangan dan pendengaran kaum laki-laki. Hal tersebut begitu lumrah dan tidak asing lagi untuk disibak.
Adapun saat mengucapkan kalimat talbiyah (dalam ibadah haji) tidak hanya kaum laki-laki saja yang dapat melontarkan kalimat illahi dengan suara lantang, kaum wanita pun begitu tak nampak asing ketika melakukan hal yang sama seperti laki-laki, dimana hal tersebut dilakukan demi menunjukkan kebesaran makna kalimat talbiyah. Dalam urusan berpidato atau orasi-orasi telah banyak ditemukan kaum wanita yang turut serta dalam hal tersebut. Eksistensi wanita dalam hal suara memang cukup dikenal dan telah menjadi hal yang maklum adanya.
Namun sebagian umat muslim meyakini bahwa alasan suara wanita aurat berdasarkan sebuah dalil yang mengatakan bahwa wanita adalah aurat, maka disimpulkan suara wanita pun masuk ke dalam aurat. Sebagaimana yang tertera dalam hadits berikut;
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ، فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
Artinya: “ Wanita adalah aurat, jika dia keluar maka syetan menghias-hiasinya”. (HR. Tirmidzi Thabarani) : shahih[1]
          Berdasarkan persepsi-persepsi diatas, penulis tertarik untuk menulis karya ilmiah berjudul “Pandangan Islam Terhadap Suara Wanita” untuk mengetahui bagaimana sebenarnya Islam memandang suara seorang wanita tersebut.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka penulis tuangkan dalam rumusan masalah sebagai berikut:
1.    Bagaimana pandangan Islam terhadap suara wanita?
2.    Bagaimana kategori suara wanita yang dilarang dan dibolehkan menurut syariat Islam?

1.3  Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian karya ilmiah tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Untuk mengetahui pandangan Islam terhadap suara wanita.
2.    Untuk mengetahui kategori suara-suara wanita yang dilarang dan dibolehkan menurut syariat Islam.

1.4  Manfaat Penelitian
Penelitian karya ilmiah tersebut memiliki manfaat sebagai berikut:
1.    Agar dapat mengetahui pandangan Islam terhadap suara wanita.
2.    Agar dapat membedakan kategori suara wanita yang dilarang dan dibolehkan menurut syariat Islam.

1.5  Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan penulis yaitu dengan menggunakan metode studi pustaka (Library Research). Studi pustaka digunakan untuk mendapatkan informasi kebenaran “Pandangan Islam Terhadap Suara Wanita”.
Studi pustaka ini berisi buku-buku atau tulisan-tulisan pokok bahasan karya ilmiah yang relevan. Dalam studi pustaka ini penulis menjadikan beberapa panduan buku sebagai acuan dalam pembahasan yang didalamnya berkaitan dengan penelitian, juga mengutip beberapa referensi yang berkaitan dengan penelitian melalui media online sebagai pendukung setiap argumentasi yang dibangun penulis.

1.6  Sistematika Penulisan
Dalam penulisan karya ilmiah berjudul “Pandangan Islam Terhadap Suara Wanita” ini penulis membagi menjadi beberapa bab, dan setiap bab terdiri dari beberapa sub-bab. Adapun sistematika penulisan secara terperinci sebagai berikut:
Bab pertama: Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua: Tinjauan Pustaka, yang terdiri dari pengertian suara, kategori suara wanita yang dilarang dalam Islam, kategori suara yang dibolehkan dalam Islam, pengertian aurat, kategori aurat-aurat wanita.
Bab ketiga: Pembahasan, mengenai hubungan suara wanita dengan aurat menurut para ulama, wanita bernyanyi, dihadapan khalayak ramai, wanita menjadi qori’ah, wanita dalam hal adzan dan iqomah, wanita meratap dan meraung, mengeraskan suara saat talbiyah, dan tiga belas nasihat bersuara bagi wanita muslimah.
Bab keempat : Penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran.















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1    Pengertian Suara
Suara dalam ilmu fisika adalah setiap fenomena yang melibatkan propagasi dari gelombang elastis dalam bentuk (baik terdengar atau tidak). Biasanya melalui cairan atau media elastis lainnya yang menghasilkan gerak getaran dari tubuh.[2]
Suara adalah fenomena getaran yang ditransmisikan dalam gelombang. Untuk menghasilkan suara yang diperlukan untuk bergetar melalui sumber manapun, getaran dapat ditularkan melalui cara-cara yang berbeda, yang paling umum adalah melalui udara dan air.[3]
Suara merupakan penggabungan energi mekanik yang merambat melalui materi dalam bentuk gelombang (melalui cairan dalam bentuk gelombang kompresi, dan melalui padat dalam bentuk gelombang kompresi dan geser). Suara dianggap secara lebih rinci melalui gelombang yang generik, yaitu frekuensi, panjang, gelombang, periode, amplitudo, kecepatan dan arah.[4]

2.2 Kategori Bentuk Suara Wanita Yang Dilarang Dalam Islam
Para ulama berpendapat bahwa suara wanita yang dilarang dalam Islam adalah yang sifatnya mendayu-dayu, mendesah, atau mendesis, sehingga menimbulkan keinginan jelek dari laki-laki yang mendengarnya.[5]


Allah SWT.  ta’ala berfirman;                                                         
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ ۚ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا
Artinya: “Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti perempuan-perempuan yang lain jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk (melemah lembutkan suara) dalam berbicara sehingga bangkit hawa nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik”. (Al-Ahzab : 32)

2.3    Kategori Bentuk Suara Wanita Yang Dibolehkan Dalam Islam
Para ulama berpendapat bahwa bentuk suara wanita yang dibolehkan dalam Islam adalah tidak dibuat-buat, tidak mendesah, berkata apa adanya, tidak ditinggikan, dan juga tidak terlalu rendah. Yang demikian tidak akan menimbulkan syahwat[6]
Rasulullah SAW. bersabda;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أًوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
Artinya: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya dia berkata dengan perkataan yang baik atau hendaknya dia diam”. (muttafaq ‘alaih dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu’anhuma)

2.4    Pengertian Aurat
Aurat berasal dari bahasa arab yang secara literal berarti celah, kekurangan, sesuatu yang memalukan, atau sesuatu yang dipandang buruk dari anggota tubuh manusia dan membuat malu bila dipandang.[7]
Dalam kamus Munawwir bahasa Arab-Indonesia definisi aurat adalah segala perkara yang dirasa malu (jika dilihatkan atau didedahkan).[8]
Menurut Al-Mawrid Al-Quareeb dalam “A Pocket Arabic-English Dictionary” definition of aurat is private parts, genitals, defect, fault, and blemish, yang artinya bagian-bagian pribadi, kemaluan, cacat, kekurangan, dan cela.[9]
Aurat adalah sesuatu yang terasa malu jika hal tersebut terjadi, seperti aib seseorang yang dilihatkan maka ia akan malu, dan ada kalanya perkara itu menjatuhkan maruah (menurunkan harga) dirinya. Aurat dari segi syara’ merupakan suatu yang wajib ditutup atau sesuatu yang haram dilihat.[10]

2.5    Kategori Aurat-Aurat Wanita
          Ulama berpendapat mengenai batas aurat wanita merdeka. Al-Hadi, At-Qasim dalam satu dari dua pendapatnya, Imam Syafe’i dalam satu dari beberapa pendapatnya, Abu Hanifah dalam satu dari dua riwayat darinya, dan Imam Malik mengatakan bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan.[11]
          Berikutnya Al-Qasim dalam satu perkataannya, Abu Hanifah dalam satu riwayatnya, At-Tsauri dan Al-Abbas mengatakan bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan kedua telapak tangan, dan kedua telapak kaki sampai tempat gelang kaki. Adapun menurut sebagian murid Imam Syafe’i dan riwayat Ahmad bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuhnya tanpa kecuali.[12]


Allah SWT. berfirman dalam surat An-Nur ayat 31 yang berbunyi;
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Dan katakanlah kepada perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (aurat), kecuali yang biasa terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (aurat), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka,  saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam mereka), atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung”. (An-Nur : 31)
          Ayat tersebut memaparkan bahwa seorang wanita diperintahkan untuk menjaga pandangan dan tidak boleh menampakkan perhiasan (aurat) kecuali dihadapan mahram wanita tersebut. Selain itu, seorang wanita dilarang untuk menghentakkan langkah kaki saat melangkah dihadapan orang banyak terutama dihadapan kaum laki-laki. Hal tersebut diperintahkan Allah kepada wanita semata-mata untuk menghindari wanita dari marabahaya, karena apapun yang diperintahkan Allah kepada makhluk-Nya selalu mengandung hikmah dan merupakan suatu kewajiban untuk dilakukan dari apa yang Allah perintahkan.


BAB III
PANDANGAN ISLAM TERHADAP SUARA WANITA
Allah SWT. memberikan keistimewaan pada wanita, keistimewaan tersebut yakni wanita memiliki suara yang identik lebih lembut dibandingkan kaum laki-laki. Untuk mengetahui bagaimana pandangan Islam yang sebenarnya mengenai suara wanita, berikut hasil penelitian yang telah diambil dari beberapa referensi yang relevan.

3.1 Hubungan Suara Wanita Dengan Aurat Menurut Para Ulama
          Sejauh ini banyak orang yang beranggapan bahwasannya suara wanita sama halnya dengan suara laki-laki yang tidak membangkitkan syahwat atau nafsu. Banyak pendapat-pendapat mengenai suara wanita. Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa suara wanita adalah aurat, namun ada pula sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa suara wanita tidak masuk ke dalam aurat.

3.1.1 Pendapat Para Ulama Madzhab
a. Hanafiyah
          Menurut Imam Abu Hanifah dan pengikutnya suara wanita merupakan aurat. Pendapat ini didasarkan atas beberapa dalil, misalnya etika wanita dalam shalat jama’ah bersama kaum laki-laki yang mensyariatkan wanita untuk bertepuk tangan ketika mengetahui terjadi kesalahan pada imam shalat. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits Rasulullah yang ditanya tentang cara menegur imam yang keliru, dan beliau menjawab;
مَنْ نَابَهُ شَىْءٌ فِى صَلاَتِهِ فَلْيُسَبِّحْ فَإِنَّهُ إِذَا سَبَّحَ الْتُفِتَ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا التَّصْفِيحُ لِلنِّسَاءِ
Artinya: “Barang siapa menjadi makmum lalu merasa ada kekeliruan dalam shalat, hendaklah ia membaca tasbih. Karena jika dibacakan tasbih, dia (imam) akan memperhatikannya. Sedangkan tepukkan khusus untuk wanita”. (HR. Bukhari no. 7190 dan Muslim no. 421).
          Jika memang bukan aurat pastilah wanita dapat melakukan hal yang sama dengan pria, yakni mengucapkan subhanallah. Namun menurut ulama lain alasan ini lemah dan penakwilan yang berlebihan, sebab apa yang wanita lakukan dengan bertepuk tangan ketika meluruskan kekeliruan imam merupakan aturan baku yang ada dalam shalat yang sifatnya ta’abudiyah yang tidak ada kaitannya dengan aurat maupun bukan aurat. Dalil lainnya berdasarkan hadits Rasulullah yang berbunyi;
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ، فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
Artinya: “Wanita adalah aurat, jika dia keluar maka syetan akan menghias-hiasinya”. (HR.Tirmidzi).
          Hadits riwayat Tirmidzi yang memaparkan wanita adalah aurat merupakan hadits umum yang menginformasikan secara umum bahwa tubuh wanita adalah aurat, yang kemudian ditakhsis (dibatasi) dengan hadits-hadits yang menunjukkan bahwa wajah, telapak tangan dan termasuk suara adalah yang dikecualikan. Berikutnya berdasarkan potongan ayat dari surat An-Nur ayat 31 yang berbunyi;
وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ
Artinya: “……Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar di ketahui perhiasan yang mereka sembunyikan…….”. (An-Nur : 31)
          Menurut madzhab Hanafiyah jika suara perhiasan di kaki (gelang) saja dilarang untuk sengaja untuk diperdengarkan, apalagi suara asli dari wanita yang lebih berpengaruh terhadap laki-laki dibanding suara gelang.
          Menurut para ulama lain, dalil dari ayat tersebut tidaklah tepat kaitannya dengan suara wanita karena yang dilarang dari seorang wanita dalam ayat tersebut adalah perbuatannya yang memamerkan perhiasan. Jika dikaitkan dengan suara wanita tentu tidak tepat karena suara manusia itu termasuk kebutuhan yang sangat penting. Keharaman barulah muncul apabila dipergunakan untuk merayu dan mengundang syahwat.
          Pada dasarnya dalam ilmu fiqh telah diketahui adanya dalil yang bersifat ‘aam (umum) dan dalil khos (khusus). Jadi sebuah dalil terkadang bermakna mujmal (global) tetapi adapula yang muqayyid (terbatasi), contohnya firman Allah SWT. dalam surat Al-Maidah ayat 3 yang menjelaskan keharaman semua bangkai, tetapi kemudian dikhususkan bangkai binatang laut darinya. Dalil takhsis lainnya yakni sabda Rasulullah SAW. yang berbunyi;
أُحِلَّتْ لنا مَيتَتَانِ الجراد و الحوتُ
Artinya: “Dihalalkan bagi kami dua bangkai…… yaitu (bangkai) ikan dan belalang”.
Oleh karena itu para ahli ushul fiqh membuat kaidah;
“Memahami dalil yang umum harus dibatasi oleh yang khusus”.[13]
b. Malikiyah dan Hanabilah
          Madzhab Malikiyah dan Hanabilah memaparkan bahwa suara wanita bukanlah aurat, yaitu ketika sebagian muslim berpendapat tidak dibencinya mendengarkan nyanyian wanita.[14] Artinya, boleh mendengarkan nyanyian dari suara wanita karena hal tersebut bersifat hiburan.
c. Syafi’iyah
          Menurut madzhab Syafi’iyah bahwa suara wanita bukanlah aurat, bahkan boleh mendengarkan suara wanita bernyanyi dengan catatan aman dari fitnah.[15] Fitnah disini yakni tidak memperlihatkan hal yang dapat membangkitkan syahwat, dapat berpakaian rapih, dan lagu yang dibawakan tidak mengakibatkan para pendengar berimajinasi negatif.


3.1.2 Pendapat Ulama Lain
Adapun pendapat ulama-ulama lain diantaranya:
a.    Umairah mengatakan bahwa suara wanita bukan aurat berdasarkan pendapat shahih, maka tidak haram mendengarnya.[16]
b.   Zainudin Al-Malibary mengatakan bahwa suara wanita tidak termasuk aurat, karena itu tidak haram mendengarkannya kecuali di khawatirkan fitnah atau berlezat-lezat dengannya sebagaimana yang telah dibahas oleh Zarkasyi.[17]
c.    Syaikh Al-Jaziri Hafizhahullah mengatakan bahwa suara wanita bukanlah aurat karena istri-istri Nabi dahulu juga bercakap-cakap dengan para sahabat.[18]
Musa bin Thalhah Ra. Berkata:
مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَفْصَحَ مِنْ عَائِشَةَ
Artinya: “Aku tidak pernah melihat seorangpun yang lebih fasih bicaranya daripada Aisyah”. (HR. Tirmidzi)
          Dalam hadits ini diidentifikasikan bahwa para sahabat nabi pada zaman dahulu meminta fatwa dari Aisyah Ra. Maka tidak ada yang salah jika wanita mengeluarkan suara selagi dapat menempatkan dan tidak menimbulkan syahwat maupun fitnah. Juga bukanlah aurat apabila semua aktivitas itu berupa perkataan-perkataan (tasharrufat qauliyah).[19]
          Dari berbagai persepsi-persepsi diatas, dapat didedikasikan bahwa pendapat terkuat yakni pendapat yang mengatakan suara wanita tidak masuk kedalam aurat. Hanya saja suara wanita dapat menjadi haram jika suara yang dikeluarkan tidak sesuai dengan apa adanya, seperti: mendesah, mendesis, merayu, meraung, dan terlalu melemah lembutkan suara hingga suara yang dikeluarkan tersebut menimbulkan fitnah.

3.1.3 Tafsir Surat An-Nur ayat 31
          Berikut merupakan penafsiran para ulama mengenai surat An-Nur ayat 31, diantaranya;
-    Pertama:
          وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ
“…..dan janganlah menampakkan perhiasannya (aurat), kecuali yang biasa terlihat…”
          Tentang perhiasan yang biasa nampak ini, Ibnu Abbas berkata, “wajah dan telapak tangan.”[20] Tetapi berbagai riwayat dari Ibnu Abbas tentang penafsiran ini dilemahkan oleh Syeikh Musthafa Al-Adawi dalam kitabnya “Jami’ Ahkamin Nisa”. Tentang hal ini terdapat riwayat-riwayat shahih dari perkataan sebagian tabi’in.[21]
          Perkataan serupa juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Umar. Berdasarkan penafsiran kedua sahabat ini jelas bahwa wajah & telapak tangan wanita boleh kelihatan, sehingga bukan merupakan aurat yang wajib ditutup.[22]
-    Kedua:
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ
“… dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung pada dada (dan leher) mereka…”
          Ibnu Hazim rahimahullah berkata, “Allah ta’ala memerintahkan para wanita untuk menutupkan kain kerudung pada belahan-belahan baju (dada & leher), maka ini merupakan nash bolehnya membuka wajah, tak mungkin selain itu, karena memang kerudung untuk penutup kepala.” Demikian diterangkan oleh para ulama seperti tersebut dalam An-Nihayah karya Imam Ibnul Atsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Al-Hafizh Ibnu Katsir, Tafsir Fathu Al-Qadir karya Asy Syaukani & lainnya. [23]
-    Ketiga:
وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚ
“...dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan…”
          Seorang wanita dilarang menghentakkan kaki saat berjalan, karena jika hal itu dilakukan bukan tidak mungkin akan menarik perhatian bagi orang-orang yang ada disekitar wanita tersebut. Jika orang-orang sekitar wanita tersebut merupakan laki-laki maka dikhawatirkan akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, artinya mungkin saja akan terjadi peristiwa kejahatan, kebodohan,  maupun pelecehan.
          Mengenai aurat wanita yang tertera diatas nampak tidak ada kaitannya dengan makna aurat pada suara wanita, karena aurat yang dimaksud merupakan dalam bentuk wujud dan perbuatan, tidak dispesifikan kepada suara wanita.

3.2 Wanita Bernyanyi Dihadapan Khalayak Ramai
          Suara orang bernyanyi tentu berbeda dengan suara orang bicara secara normal. Wanita bernyanyi cenderung lemah lembut, ada cengkokan, terkadang meninggi, dan lain-lain. Jika wanita tersebut menampilkan penampilan seronok (tidak sopan) maka tidak diragukan bahwa hal tersebut haram, karena dapat menimbulkan keinginan buruk dari kaum laki-laki, dan bukan tidak mungkin akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Pada hakikatnya Allah SWT. menganugerahkan panca indera seperti mulut untuk digunakan dengan sebaik mungkin. Tidak ada yang salah jika seorang wanita bernyanyi dengan sopan, pakaian yang syar’i, dan tidak ada maksiat lainnya.

Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz beliau berkata yang artinya:
“Pada pagi hari Rasulullah datang ke pernikahan saya, kemudian beliau duduk dikursi saya seperti halnya kamu duduk didepan saya sekarang ini. Lalu saya memerintahkan para jariyah ( budak wanita-remaja) memainkan duff (gendang) dengan menyanyikan lagu-lagu perjuangan orang tua kami yang gugur pada Perang Badar”. Mereka terus bernyanyi dengan syair yang mereka kuasai, hingga salah seorang jariyah mengucapkan sebuah syair: “Diantara kita telah hadir seorang Nabi yang mengetahui hari yang akan datang”. Maka Nabi Muhammad menanggapi, “Syair yang ini janganlah kamu nyanyikan”. (HR.Bukhari: Shahih.)[24]
          Dari riwayat tersebut Rasulullah membolehkan dan mendengarkan wanita bernyanyi. Adapun Rasul menanggapi syair tersebut karena tidak ada satupun yang tahu akan hari esok kecuali Allah ‘Azza wa jalla.
          Islam tidak pernah mempersulit syariat hukum yang ada. Namun hal tersebut bukan berarti dapat mudah disepelekan. Sebagai muslimah yang baik, hendaknya terbuka untuk turut serta menyentuh syariat hukum yang ada agar tidak tersesat dan terjatuh pada lubang yang salah.
Allah SWT. berfirman dalam surat Al-Ankabut ayat 43 yang berbunyi;
وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ ۖ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ
Artinya: “Dan perumpamaan-perumpamaan ini kami buat untuk manusia, dan tidak ada yang akan memahaminya kecuali mereka yang berilmu”. ( QS. Al-Ankabut : 43).

3.3 Wanita Menjadi Qori’ah
          Qori’ah berasal dari kalimat قرأ (qara’a) yang artinya baca. Maka definisi qori’ah merupakan pembaca Al-Qur’an wanita. Tidak hanya kaum laki-laki yang dapat melantunkan ayat suci Al-Qur’an dengan nada yang indah didengar, kaum wanita pun sudah tak asing lagi. Membaca Al-Qur’an dengan suara keras bagi wanita dihadapan ajnabi bagi sebagian ulama menyatakan tidak haram selama aman dari fitnah, namun makruh mengeraskan bacaan didalam shalat karena dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah.[25]
          Media qori’ah dapat dijadikan media dakwah Islam dan merupakan suatu kelebihan yang dimiliki seorang wanita. Banyak perlombaan-perlombaan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ), baik mencakup daerah, provinsi, maupun nasional yang sampai saat ini tidak ada pelarangan dalam hal tersebut. Wanita melantunkan ayat Al-Qur’an dihadapan khalayak ramai tidak menjadi haram selagi konsisten pada syariat Islam, memakai pakaian rapih, dan suara tidak dibuat berlebihan.Yang dilarang adalah apabila suara itu dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah meskipun ketika wanita itu membaca Al-Qur’an.[26]Apapun yang dilakukan jika hal tersebut merupakan hal positif, Allah pun akan meridhoi. Namun sebaliknya jika hal tersebut bersifat negatif maka Allah pun tidak akan meridhoi dan tidak akan ada hikmah.

3.4 Wanita Dalam Hal Adzan dan Iqomah
          Seperti yang telah diketahui, adzan selalu dilantunkan oleh kalangan laki-laki. Adzan merupakan seruan seseorang untuk melakukan shalat, biasanya bersumber dari dalam masjid untuk kemudian disebar luaskan ke khalayak ramai menggunakan sound system. Tentunya adzan akan didengar banyak orang. Para ulama berpendapat bahwa diharamkan bagi wanita untuk beradzan, sebab bagi yang mendengar adzan disunahkan untuk memandang muadzin (orang yang beradzan).[27] Hal ini memastikan tidak aman dari fitnah. Disamping itu orang yang beradzan diharapkan melantunkan adzan dengan penuh penghayatan dan jika hal ini dilakukan oleh wanita, bukan tidak mungkin akan menimbulkan fitnah dan prasangka buruk dari kaum adam yang berfikiran tidak sehat.
          Sedangkan iqomah merupakan tanda akan dimulainya salat. Dal hal ini tidak mengapa jika seorang wanita beriqomah dihadapan kaum wanita, jika terdapat kaum laki-laki tentulah wajib bagi laki-laki tersebut untuk iqomah dan wanita tidak boleh. Iqomah tidak perlu disebarluaskan ke khalayak ramai karena hanya ditujukan kepada para jama’ah salat yang ada.

3.5 Wanita Meratap dan Meraung
          Wanita memiliki perasaan yang lebih halus dibanding laki-laki sehingga bila ditimpa musibah atau sesuatu yang tidak diinginkan wanita lebih mudah menangis apalagi ditinggal mati oleh orang yang disayangi, saat itulah wanita berpeluang meratap dan meraung-raung hingga menjambak rambut, memukul dada, atau bahkan mengeluarkan banyak perkataan yang memprihatinkan.
          Perilaku seperti itu sama sekali tidak mencerminkan wanita berakhlak baik. Seorang  muslimah diajarkan untuk dapat sabar dan tabah dalam menghadapi musibah, sebab musibah yang menimpa itu sama sekali tidak lain dari kehendak Allah SWT. Karena Allah adalah Tuhan Yang Maha Baik dan Maha sempurna, maka pasti dalam kehendak tersebut mengandung kebaikan bagi manusia.
          Wanita yang meratap dan meraung-raung atas musibah yang menimpa yang disebabkan oleh kemarahan dan ketidakrelaan pada takdir Allah, maka jelas ia telah melakukan dosa besar.[28]
Allah SWT. berfirman dalam surat Huud ayat 11 yang berbunyi;
إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَٰئِكَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ
Artinya: “Kecuali, orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal-amal salih. Mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar.” (QS.Huud : 11)
          Dalam pembahasan ini bukan berarti menangis tidak diperbolehkan saat ditimpa musibah, namun perkara yang dilarang saat menghadapi musibah dengan menangis berlebihan, berteriak sekeras-kerasnya, meratap, mengharu biru pada mayit, memukuli muka sendiri, mengoyak-ngoyak pakaian, dsb. yang menunjukkan ketidakrelaan kepada ketentuan Allah. Sedang bagi yang masih dalam batas wajar tidak menyebabkan dosa.[29]
          Tetap istiqomah merupakan kunci kesuksesan yang dapat diraih. Dengan tidak mengeluh akan menjadikan hidup penuh warna dan penuh percaya diri. Innallaaha ma’a shaabiriina..

3.7 Mengeraskan Suara Saat Talbiyah
          Para ulama sepakat bahwa wanita tidak disunahkan untuk mengeraskan suara saat talbiyah. Seorang wanita hanya boleh mendengarkan atau mengucapkan kalimat talbiyah yang sekiranya hanya bisa didengar oleh wanita itu sendiri. Hal ini dikatakan oleh imam Malik, Al-Awza’i, Atha, Ashab Al-Ra’yi (mazhab rasionalis), dan imam Syafi’i. Pendapat ini didasarka pada sebuah riwayat dari ibnu Umar yang berkata yang artinya;
“Perempuan hendaknya tidak naik melebihi bukit Shafa dan Marwah dan tidak mengeraskan suaranya saat bertalbiyah”. (HR. Baihaqi). Riwayat serupa juga dikeluarkan oleh ibnu Abbas.
          Menurut fuqoha mazhab Zhahiriyah (kaum tekstualis), mengeraskan suara saat talbiyah adalah wajib, baik bagi jama’ah laki-laki maupun perempuan. Alasannya pada masa Rasulullah dan setelahnya, orang-orang bebas mendengarkan perkataan-perkataan istri beliau. Tidak ada satupun orang yang melarangnya.
          Namun para ulama-ulama khususnya di Indonesia lebih sepakat dengan pendapat yang menyatakan bahwa wanita tidak boleh mengeraskan suara saat talbiyah, karena sesuai dengan kodrat wanita yang mempunyai rasa malu lebih besar, Selain itu, merendahkan suara di tengah-tengah laki-laki jauh lebih aman bagi diri seorang wanita. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas fuqoha.[30]

3.6 Tiga belas Nasehat Bersuara Bagi Wanita Muslimah
          Suara wanita diciptakan untuk diucapkan, namun jangan sampai suara tersebut mendatangkan fitnah. Untuk menentukan suara sperti apa yang bisa mendatangkan fitnah, maka ukurannya adalah manusia yang berhati sehat. Sebab bagi orang yang hatinya sakit kronis, suara wanita yang wajar tetap dianggap dapat membangkitkan hasrat nafsu pula. Berikut ini merupakan tiga belas nasehat-nasehat bersuara yang baik bagi wanita muslimah, diantaranya:
1.    Bacalah Al-Qur’an karim dan bersemangatlah untuk menjadikan itu sebagai wirid keseharian, dan senatiasalah berusaha untuk menghafalkannya sesuai kesanggupan agar bisa menggapai pahala  yang paling besar dihari kiamat nanti.
Dari Abdullah bin Umar Ra. dari Rasulullah SAW, beliau bersabda;
“Dikatakan pada orang yang senang membaca Al-Qur’an: bacalah dengan tartil sebagaimana engkau dulu sewaktu didunia membacanya dengan tartil, karena sesungguhnya kedudukanmu adalah pada akhir ayat yang engkau baca.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi)

2.    Tidaklah terpuji jika seseorang meyampaikan setiap apa yang ia dengarkan dengan tidak secara langsung karena kebiasaan ini akan menjatuhkan diri kedalam kedustaan.
Dari Abu Hurairah Ra, sesungguhnya Rasulullah SAW. Bersabda;
“Cukuplah seseorang itu dikatakan sebagai pendusta ketika dia menyampaikan setiap apa yang dia dengarkan”. (HR. Muslim dan Abu Daud)

3.    Jauhkanlah dari  sikap menyombongkan diri (berhias diri) dengan sesuatu yang tidak ada pada diri sendiri dihadapan manusia.
Dari Aisyah Ra. ada seorang wanita yang mengatakan;
“Wahai Rasulullah! Aku mengatakan bahwa suamiku memberikan sesuatu kepadaku yang sebenarnya tidak diberikannya. Berkata Rasulullah SAW: “Orang yang merasa memiliki sesuatu yang ia tidak diberi, seperti orang yang memakai dua pakaian kedustaan”. (muttafaq ‘alaih)

4.    Sesungguhnya dzikrullah memberikan pengaruh yang kuat didalam kehidupan ruh seorang muslim, kejiwaan, jasmani, dan kehidupan masyarakat, maka bersemangatlah untuk berdzikir kepada Allah ta’ala disetiap waktu dan keadaan. Allah ta’ala memuji hamba-hamba Nya yang mukhlis dalam potongan firman-Nya;
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ
Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring……” (Ali-Imron : 191)

5.    Jika hendak berbicara, maka jauhilah sifat merasa kagum dengan diri sendiri, sok fasih, dan terlalu memaksakan diri dalam bertutur kata, sebab ini merupakan sifat yang sangat dibenci Rasulullah SAW, dimana beliau bersabda;
“Sesungguhnya orang yang paling aku benci diantara kalian dan yang paling jauh majelisnya dariku pada hari kiamat, orang berlebihan dalam berbicara, sok  fasih dengan ucapannya dan merasa ta’ajub terhadap ucapannya”. (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Hiban, dan lainnya dari hadits Abu Tsa’labah Al-Khusyani Ra.)
6.    Jauhilah dari terlalu banyak tertawa, terlalu banyak bicara dan berceloteh. Jadikanlah Rasulullah SAW. sebagai teladan, dimana beliau lebih banyak diam dan banyak berfikir. Beliau pun menjauhkan diri dari banyak tertawa dan menyibukkan diri dengannya, bahkan jadikanlah setiap apa yang diucapkan itu adalah perkataan yang mengandung kebaikan. Jika tidak, maka diam itu lebih utama. Rasulullah SAW. bersabda;
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya dia berkata dengan perkataan yang baik, atau hendaknya dia diam”. (Muttafaq’alaih dari hadits Abu Hurairah Ra)
7.    Jadikanlah ucapan yang diucapkan menjadi perkataan yang ringkas, jelas, dan tidak bertele-tele yang akan memperpanjang pembicaraan.
8.    Janganlah memotong pembicaraan seseorang yang sedang berbicara atau membantahnya, maka jadikanlah bantahan tersebut dengan cara yang paling baik sebagai syi’ar kepribadian.
9.    Berhati-hatilah dari suka mengolok-olokan terhadap cara berbicara seseorang, seperti orang yang terbata-bata dalam berbicara atau seseorang yang kesulitan berbicara. Allah SWT. berfirman;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik”. (Al-Hujurat : 11)

10.    Jika mendengarkan bacaan Al-Qur’an, maka berhentilah dari berbicara apapun yang dibicarakan karena itu merupakan adab terhadap kalamullah dan juga sesuai dengan perintah Allah di dalam firman-Nya;
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Artinya: “Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah dengan baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kalian diberi rahmat”. (Al-A’raf : 204)

11.    Bertakwalah kepada Allah, bersihkan majelis dari ghibah (menggunjing) dan namimah  (adu domba) sebagaimana yang Allah perintahkan untuk menjauhinya. Bersemangatlah untuk menjadikan didalam majelis itu adalah perkataan-perkataan yang baik dalam rangka menasehati dan memberikan petunjuk kepada kebaikan. Perkataan itu adalah sebuah perkara yang besar, berapa banyak dari perkataan seseorang yang dapat menyebabkan kemarahan dari Alla dan menjatuhkan pelakunya kedalam jurang neraka. Didalam hadits Mu’adz Ra. tatkala beliau bertanya kepada Rasulullah SAW:
“Apakah kami akan disiksa dengan apa yang kami ucapkan?” Maka Rasulullah SAW. Menjawab: “Engkau telah keliru wahai Mu’adz, tidaklah manusia dilemparkan ke neraka diatas wajah-wajah mereka melainkan disebabkan oleh ucapan-ucapan mereka”. (HR. At-Tirmidzi, An-Nassai, dan Ibnu Majah)

12.    Berhati-hatilah semoga Allah menjaga dan tidak menghadiri majelis yang buruk dan berbaur dengan para pelakunya, dan bersegeralah semoga Allah menjaga menuju majelis yang penuh dengan keutamaan, kebaikan, dan keberuntungan.
13.    Berhati-hatilah dari terlalu banyak berceloteh dan terlalu banyak berbicara. [31]  Allah ta’ala berfirman dalam surat An-Nisa ayat 114 yang berbunyi;
لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
Artinya: “Dan tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan kedamaian diantara manusia”. (An-Nisa : 114)

          Semoga Allah senantiasa merahmati segala perbuatan dan menunjukkan kepada jalan kebaikkan, karena Allah senantiasa mengamati dan mencatat setiap perkataan-perkataan yang dilontarkan juga segala perbuatan-perbuatan yang dilakukan.



















BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

          Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikaji oleh penulis pada bab-bab sebelumnya mengenai “Pandangan Islam Terhadap Suara Wanita”, dapat diidentifikasikan bahwa pendapat terkuat yakni pendapat yang mengatakan suara wanita tidak masuk kedalam aurat.
          Kategori suara wanita yang dibolehkan dalam Islam yakni jika suara yang dikeluarkan bersifat apa adanya, berbicara seperlunya, dan berbicara dengan perkataan dan sikap yang baik.
          Kategori suara yang dilarang dalam Islam yakni suara yang ditimbulkan dibuat-buat, mendesah, mendesis, merayu, meraung, atau bahkan terlalu melemah lembutkan suara hingga menimbulkan fitnah. Jika hal tersebut terjadi maka haram untuk didengar dan di khawatirkan akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
         

         












4.2 Saran

          Dalam penulisan karya ilmiah berjudul “Pandangan Islam Terhadap Suara Wanita” ini, penulis menyarankan juga menghimbau kepada para pembaca khususnya bagi kaum wanita untuk  :
1. Tetap menjaga setiap perkataan yang diucapkan.
2. Tidak meninggikan dan tidak pula terlalu merendahkan suara terutama dihadapan kaum laki-laki.
3. Tetap menjaga pandangan pada saat berbicara dengan kaum laki-laki.
4. Lebih baik tidak bernyanyi di hadapan kaum laki-laki karena bukan tidak mungkin mudah menimbulkan fitnah.
5. Tidak berbicara dengan nada yang kurang baik seperti mendesah, atau terlalu melembutkan suara.
6. Berbicara seperlunya, tidak berlebihan, juga tidak berbicara hal yang tidak penting.
7. Bersikap baik saat berbicara kepada orang lain.
          Semoga karya ilmiah ini menjadi salah satu amal yang takkan terputus dan dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca (amiin).









DAFTAR PUSTAKA

Muhammad, Husein, 2001 Fiqh Perempuan, Yogyakarta: PT.Lkis Printing
Cemerlang.

Labib, Aqis, 2005, Risalah Fiqh Wanita, Surabaya: Bintang Usaha.

Kamus Munawwir bahasa Arab-Indonesia, 2000, cet.1.

Al-Quareeb, Al-Mawrid, A Pocket Arabic-English Dictionary, 2001, cet.1.

Fiqh Al-Manhaji A’la Al-Madzhab Al-Imam Syafe’I, jilid 1.

Al Mausu’ah Fiqihiyah Al-Kuwaitiyah juz 4.

Hasyiah Qalyubi wa ‘Umairah, Dar Ihya Al-Kutub Al-Arabiyah, 1/177.

Fath A-Mu’in, Semarang: Thaha Putra, cet. III.

Fiqh ‘Ala Mazhabil ‘Arba’ah, 1/170.

Daud, Abu, Sunan, Fin Nahyi Al-Ghina, HR. Bukhari, juz 16.
Khotib, Ahmad, 2001, Dosa-Dosa Khas Wanita Paling Dibenci Allah,
Yogyakarta: DIVA Press.

Sayyid Hassan, Ahmad, 2007, At-Taqrirah As-Sadidah, Mojokerto: PC LBM.

Ibnu Abi Syaibah & Isma’il Al-Qadhi, dishahihkan oleh syaikh Al-Albani,
“Jilbab Al-Mar’ah Al-Muslimah”, (Al-Maktabah Al-Islamiyyah), cet.I

Al Muhala III/216-217, Jilbab Mar’ah Al-Muslimah.

Al-Qur’an Al-Karim.

Akses internet:

http://quran.ittelkom.ac.id/?sid=21&aid=107&pid=arabicid/

http://id.shvoong.com/exactsciences/physic/2313606-pengertian-bunyi-suara/

http://www.artikata.com/pengertian-suara.html/

http://suara-dan-gerak-tubuh-wanita.html/

http://uwaish.multiply.com/journal/item/9?&showinterstitiajournalfitem/

http://www.dakwatuna.com/2012/06/21222/fitnah-dan-suara-wanita/

http://konsultasi-wanita-muslimah.com/

http://www.muslimah.or.id/

http://www.dakwatuna.com/2007/01/37/pengantar-ushul-fiqh/

































BIOGRAFI PENULIS
Penulis bernama Siti Khumaeroh, lahir di kota Serang pada hari Senin tanggal 23 Mei 1994. Penulis yang mempunyai hobi bernyanyi ini merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara (memiliki lima saudara perempuan dan satu saudara laki-laki), juga memiliki satu saudara perempuan dari satu ibu. Sebelumnya penulis pernah menjelajahi dunia pendidikan di:
v  SD Negeri 9 Kota Serang pada tahun 2007
v  SMP Negeri 14 Kota Serang pada tahun 2010
v  Madrasah Aliyah (MA) Assa’adah 2013
v  Universitas Brawijaya
          Penulis merupakan salah satu siswa yang mendapatkan Program Akselerasi (pada tahun 2010) semasa Aliyah. Pengalaman yang pernah diraih penulis diantaranya pernah menjadi peserta MTQ tingkat Kabupaten Serang (2011), menjadi peserta Sari Tilawah Qur’an Milad IAIN se-Kab. Serang (2011), mengikuti lomba Nasyid dan meraih juara II dalam Festival Nasyid Al-Islam se-Prov. Banten (2011).
          Saat ini penulis menapaki pendidikan S1 Psikologi di Universitas Brawijaya
         Adapun jika terdapat kekeliruan/saran dapat menghubungi penulis melalui e-mail penulis:  geminizonemay@gmail.com



[1]               Hadits shahih riwayat Tirmidzi no. 1173, Ibnu Khuzaimah 111/95 dan At-Thabarani dalam Mu’jamulkabirr no. 10115, dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu’anhuma.
[2]               http://id.shvoong.com/exactsciences/physic/2313606-pengertian-bunyi-suara/ di akses melalui internet pada hari Selasa, 23 Oktober 2012 pukul 16.20 WIB.
[3]               http://pakarfisika.wordpress.com/2009/12/25/gelombang-suara/ di akses melalui internet pada hari Selasa, 23 Oktober 2012 pukul 16.32 WIB.
[4]               http://www.artikata.com/pengertian-suara.html/ di akses melalui internet pada hari Selasa, 23 Oktober 2012 pukul 16.40 WIB.
[5]               http://suara-dan-gerak-tubuh-wanita.html/ di akses melalui internet pada hari Minggu, 21 Oktober 2012 pukul 16.00 WIB.
[6]Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, (Yogyakarta: PT.Lkis Printing Cemerlang, 2001) hal. 67.
[7]               http://uwaish.multiply.com/journal/item/9?&showinterstitial=1&u%2fjournal%2fitem/ di akses melalui internet pada hari Selasa, 23 Oktober 2012 pukul 16.20 WIB.
[8]Kamus Munawwir, Arab-Indonesia, 2000, cet.1.
[9]Al-Mawrid Al-Quareeb, A Pocket Arabic-English Dictionary, 2001, cet.1.
[10]Fiqh Al-Manhaji A’la Al-Madzhab Al-Imam Syafe’I, jilid 1.
[11] Op.cit Husein Muhammad, Fiqh Perempuan hal.71.
[12] Ibid.
[13]             http://www.dakwatuna.com/2007/01/37/pengantar-ushul-fiqh/ di akses melalui internet pada hari Jum’at, 16 November 2012 pukul 11.15 WIB.
[14]Al-Mausu’ah Fiqihiyah Al-Kuwaitiyah juz 4 hal. 91.
[15]Loc.cit hal. 31/47.
[16]Hasyiah Qalyubi wa ‘Umairah, Dar Ihya Al- Kutub Al-Arabiyah, 1/177.
[17] Fath Al-Mu’in, (Semarang:Thaha Putra) hal.260 cet. III.
[18] Fiqh ‘Ala Mazhabil ‘Arba’ah, 1/170.
[20]             Ibnu Abi Syaibah & Isma’il Al-Qadhi, dishahihkan oleh syaikh Al-Albani, “Jilbab Al-Mar’ah Al-Muslimah”, (Al-Maktabah Al-Islamiyyah), cet.I hal. 59-60
[21]             http://www.muslimah.or.id/ diakses melalui internet pada hari Minggu, 02 Desember 2012 pukul 13.05 WIB.
[22]Loc.cit
[23]Al Muhala III/216-217, Jilbab Mar’ah Al-Muslimah, hal.73
[24] Sunan Abu Daud, bab Fin Nahyi Al – Ghina, HR. Bukhari, juz 16, hal.116 no.4750.
[25]             http://www.dakwatuna.com/2012/06/21222/fitnah-dan-suara-wanita/ di akses melalui internet pada hari Jum’at, 16 November 2012 pukul 11.59 WIB.
[26]Labib Mz & Aqis Bil Qisthi, Risalah Fiqh Wanita, (Surabaya: Bintang Usaha, 2005), hal. 375.
[27]             http://konsultasi-wanita-muslimah.com/ diakses melalui internet pada hari Jum’at, 26 Oktober 2012 pukul 11.00 WIB.
[28]             Ahmad Khotib, Dosa-Dosa Khas Wanita Paling Dibenci Allah, (Yogyakarta: DIVA Press,2001) hal.77
[29] Sayyid Hassan Ahmad, At-taqrirah as-sadidah (Mojokerto: PC LBM dan LTN NU, 2007) hal.392.
[30]              http://www.jurnalhaji.com/mengeraskan-suara-saat-talbiyah/ diakses melalui internet pada hari Selasa, 27 November 2012 pukul 16.30 WIB.